Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) didorong untuk satu barisan bersama aparat penegak hukum (APH) menyelesaikan kasus transaksi janggal yang ditemukan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Begitu tegas Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia, Neni Nur Hayati saat berbincang dengan
Kantor Berita Politik RMOL, Selasa (19/12).
"Yakni dengan melibatkan aparat penegakan hukum lainnya, dan menyampaikan hasil kajiannya kepada publik dengan transparan dan akuntabel," ujar Neni.
Dia berpendapat, KPU dan Bawaslu semestinya tidak terjebak pada norma yang terdapat dalam UU 7/2017 tentang Pemilu, yang menurutnya tekstual dan tafsir minimalis.
"Seharusnya penyelenggara pemilu dan aparat penegak hukum dapat menggunakan instrumen lain di luar UU Pemilu untuk penindakan yang progresif, dan jika terbukti tidak segan untuk memberikan sanksi," ucapnya.
Neni berharap, proses kajian terhadap temuan PPATK, yang disebut KPU merupakan transaksi mencurigakan di rekening bendahara partai politik dan nilainya mencapai setengah triliun rupiah, dapat diusut tuntas sampai menjatuhkan hukuman kepada pelaku.
"Tidak dilakukan secara asal-asalan hanya untuk menenangkan publik secara sesaat," demikian Neni menambahkan.
Merujuk Pasal 496 UU Pemilu, peserta pemilu yang dengan sengaja memberikan keterangan tidak benar dalam laporan dana kampanye Pemilu, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 334 ayat (1), ayat (2), dan/atan ayat (3) serta Pasal 335 ayat (1), ayat (2), dan/atau ayat (3), dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 tahun, dan denda paling banyak Rp12.000.000.
BERITA TERKAIT: