Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

4 Hakim MK Beda Pendapat dalam Putusan Mahasiswa UNS Soal Batas Usia Capres-Cawapres, DPR Salah Buat Aturan?

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/ahmad-satryo-1'>AHMAD SATRYO</a>
LAPORAN: AHMAD SATRYO
  • Senin, 16 Oktober 2023, 18:57 WIB
4 Hakim MK Beda Pendapat dalam Putusan Mahasiswa UNS Soal Batas Usia Capres-Cawapres, DPR Salah Buat Aturan?
Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul saat membacakan pertimbangan hukum putusan perkara uji materiil norma batas usia minimum capres-cawapres yang diajukan mahasiswa UNS, Almas Tsaqibbirru/Rep
rmol news logo Pendapat berbeda disampaikan 4 Hakim Konstitusi dalam perkara uji materiil norma batas usia calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) dalam UU 7/017 tentang Pemilu, yang diajukan mahasiswa Universitas Negeri Surakarta (UNS), Almas Tsaqibbirru Re A.

Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Anwar Usman, dalam Sidang Pembacaan Putusan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023, di Ruang Sidang Utama Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Senin (16/10).

"Terdapat pula pendapat berbeda (dissenting opinion) dari empat Hakim Konstitusi, yaitu Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams, Hakim Konstitusi Saldi Isra, Hakim Konstitusi Arief Hidayat, dan Hakim Konstitusi Suhartoyo," ujar Anwar.

Selain pendapat berbeda, Anwar juga menyebutkan dua Hakim Konstitusi yang menyampaikan alasan berbeda (concurring opinion) terkait putusan MK dalam perkara a quo, yaitu Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh.

Salah satu pendapat berbeda disampaikan Hakim Konstitusi Saldi Isra, yang mengaku heran dengan putusan MK hari ini. Di mana dari 9 Hakim Konstitusi terdapat 5 Hakim yang sepakat dengan dalil permohonan Pemohon, sementara 4 orang sisanya menolak.

"Baru kali ini saya mengalami peristiwa 'aneh' yang 'luar biasa' dan dapat dikatakan jauh dari batas penalaran yang wajar," ujar Saldi tegas.

Dia menyatakan, dalam beberapa putusan perkara yang sifatnya menguji regulasi yang bersifat kebijakan terbuka pembuat undang-undang, justru dalam pengujian norma syarat batas usia capres-cawapres malah disebut sebagai isu konstitusional.

"Mahkamah berubah pendirian dan sikapnya hanya dalam sekelebat. Sebelumnya, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUU XXI/2023, Mahkamah secara eksplisit, lugas, dan tegas menyatakan bahwa ihwal usia dalam norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 adalah wewenang pembentuk undang-undang untuk mengubahnya," keluhnya.

"Padahal, sadar atau tidak, ketiga Putusan tersebut telah menutup ruang adanya tindakan lain selain dilakukan oleh pembentuk undang-undang. Apakah Mahkamah pernah berubah pendirian? Pernah, tetapi tidak pernah terjadi secepat ini, di mana perubahan terjadi dalam hitungan hari, namun didasarkan pada argumentasi yang sangat kuat setelah mendapatkan fakta-fakta penting yang berubah di tengah-tengah masyarakat," sambungnya menegaskan.

Sementara itu, dalam pokok pertimbangan MK yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul, dinyatakan bahwa pengubahan norma dalam undang-undang dapat diubah MK apabila pembuat undang-undang, dalam hal ini DPR maupun pemerintah, melanggar sejumlah prinsip utama dalam kehidupan bernegara.

"Berkaitan dengan kebijakan hukum legal policy atau open legal policy, terkait batas usia, Mahkamah dalam beberapa putusan yang berkaitan dengan legal policy acapkali berpendirian bahwa legal policy dapat saja dikesampingkan apabila melanggar prinsip  moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable," ujar Manahan.

Selain itu, Manahan juga menegaskan bahwa norma yang berkaitan dengan legal policy adalah sesuatu yang tidak diatur secara tegas dalam konstitusi. Karena jika diatur secara tegas dalam konstitusi, maka undang-undang tidak boleh mengatur norma yang berbeda dengan norma konstitusi.

Dalam beberapa putusan terakhir, Manahan menyebutkan contoh putusan MK yang memberikan tafsir ulang dan mengesampingkan open legal policy, seperti dalam perkara yang terkait batas usia pensiun dan batas usia minimum bagi penyelenggara negara.

Menurutnya, hal tersebut dilakukan karena dipandang oleh MK norma yang dimohonkan pengujiannya dinilai melanggar salah satu prinsip untuk dapat mengesampingkan atau mengabaikan open legal policy seperti pelanggaran terhadap prinsip moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan intolerable, tidak melampaui kewenangan, tidak merupakan penyalahgunaan wewenang, dam atau bertentangan dengan UUD 1945.

"Sebagaimana terdapat dalam Putusan MK Nomor 112/PUU-XX/2022 dalam pengujian usia minimum pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi," demikian Manahan. rmol news logo article
EDITOR: AGUS DWI

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA