"Sejak awal rangkaian Pulau Barelang bukanlah tanah kosong. Sejak dahulu kala masyarakat adat telah tinggal di kampung-kampung tua," ujar seorang advokat, Dedy Kurniadi, dalam keterangan tertulis, Selasa (19/9).
Konflik di Barelang, kata Dedy, belakangan ramai setelah pecah bentrok masyarakat di Pulau Rempang yang menolak proses pembangunan Program Strategis Nasional Kawasan Rempang Eco City.
Jika ditarik dalam catatan ke belakang, kata dia, akar masalah dimulai pada tahun 1973, ketika rezim Suharto menginisiasi pengelolaan langsung negara terhadap Barelang. Diterapkan "Hak Pengelolaan" sebagai implementasi Hak Menguasai Negara .
"Badan Pengelola Batam mendapat kekuasaan langsung melalui Sertifikat Hak Pengelolaan (HPL) untuk sekujur Barelang," katanya.
"Dengan HPL BP Batam berkuasa menentukan peruntukan, mengikat perjanjian dan menyerahkan bahagian HPL kepada pihak swasta. Batam tumbuh pesat sejak saat itu," imbuhnya.
Saat HPL diterbitkan, kata Dedy lagi, penduduk kampung-kampung tua di Barelang ternyata dikesampingkan. Tanpa disadari, lahan kehidupan mereka telah di-"HPL"-kan oleh negara.
Lebih miris, lanjutnya, ada pernyataan Menteri Agraria Hadi Tjahjanto, yang menyatakan bahwa masyarakat adat tidak memiliki sertifikat. Termasuk, masyarakat adat di Barelang.
"Statemen ini bertolak belakang dengan Undang Undang Pokok Agraria (UUPA) yang menghormati hak adat," tuturnya.
Kini, kata Dedy lagi, gejolak Pulau Rempang kembali menguji posisi pemerintah. Apakah pemerintah bisa mempertahankan hak rakyat. Atau malah mengalah pada investor.
"Negara kembali diuji keberpihakannya. Mengedepankan kepentingan investasi atau menghormati hak-hak masyarakat," pungkasnya.
BERITA TERKAIT: