“Secara realitas politik, koalisi besar hanya akan terwujud jika pasangan capres dan cawapresnya adalah Prabowo dengan Airlangga. Keduanya merupakan representasi dua partai besar hasil Pemilu 2019 lalu, sekaligus pendukung pemerintahan Presiden Jokowi,” kata analis politik dari Universitas Nasional (Unas), Selamat Ginting, dikutip
Kantor Berita RMOLJakarta, Kamis (15/6).
Menurut Selamat Ginting, dua ketum partai tersebut sangat wajar untuk dipasangkan berdasarkan perolehan hasil pemilihan umum (Pemilu) 2019 lalu.
Di mana PDI Perjuangan berada di puncak dengan perolehan suara 19,33 persen. Disusul Gerindra 12,57 persen suara dan Golkar di posisi ketiga mendapatkan 12,31 persen.
Sementara posisi keempat dan kelima diduduki Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang mendapatkan 9,69 persen suara dan Partai Nasional Demokrat (Nasdem) yang meraih 9,05 persen.
Dituturkan Selamat Ginting, yang paling memungkinkan untuk bisa maju dalam pilpres, hanya dua komponen realitas politik.
Pertama, partai politik yang perolehan suaranya besar. Mereka punya mesin politik yang bisa diandalkan untuk menggerakkan roda partai hingga ke basis konstituen di tingkat kecamatan. Biasanya diwakili ketua umum partai politik.
Kedua, tokoh popular yang memiliki elektabilitas (keterpilihan) tinggi. Mereka bisa mendulang suara dari pemilih, khususnya
swing voters (pemilih rasional), jelas Selamat Ginting.
“Jika mengacu kepada tiga tokoh popular yang elektabilitasnya tinggi, ada pada Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, dan Anies Baswedan (nonpartai). Jadi wajar jika mereka menjadi bakal capres dalam koalisi. PDIP sudah diwakili Ganjar. Selanjutnya Koalisi Perubahan untuk Persatuan mengajukan nama Anies yang tidak berpartai. Sehingga wajar apabila Prabowo maju sebagai bakal capres dengan koalisinya,” papar dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unas itu.
Selanjutnya, kata Ginting, untuk bisa menjadi bakal cawapres, kembali mengacu kepada dua komponen realitas politik, yakni partai yang memiliki perolehan suara besar dan tokoh popular yang memiliki elektabilitas tinggi.
Jadi, koalisi besar hanya akan terwujud, apabila Prabowo dipasangkan dengan Ketua Umum Partai Golkar yang memiliki perolehan suara besar dibandingkan partai-partai lainnya.
“Gerindra dan Golkar tentu saja lebih besar perolehan suaranya daripada PKB maupun PAN. Lagi pula PAN hanya memperoleh 6,84 persen suara. Maka KKIR yang terdiri dari Gerindra dan PKB akan diwakili Prabowo. Sedangkan KIB terdiri dari Golkar dan PAN akan diwakili Airlangga sebagai Ketua Umum Golkar,” kata Ginting, kandidat doktor Ilmu Politik.
Sementara tokoh popular yang memiliki elektabilitas tinggi dari sejumlah survei untuk menjadi bakal cawapres, antara lain Ridwan Kamil, Sandiaga Uno, Erick Thohir, Agus Harimurti Yudhoyono, dan Khofifah Indar Parawansa. Mereka inilah yang merasa punya kesempatan mendapatkan tiket politik untuk menjadi bakal cawapres selain ketua umum partai politik.
“Namun, Ridwan Kamil maupun Khofifah lebih didorong untuk kembali maju dalam pemilihan gubernur di Jawa Barat dan Jawa Timur pada 2024 mendatang. Sehingga persaingan untuk bisa menjadi bakal cawapres ada pada tiga nama, yakni Erick Thohir, AHY, dan Sandiaga Uno," kata Ginting.
Apabila koalisi besar tidak terwujud, menurut Ginting, maka Golkar dan PAN bisa saja membuat poros koalisi baru dengan komposisi Airlangga mewakili Golkar sebagai bakal capres dan Zulkifli Hasan atau Erick Thohir mewakili PAN sebagai bakal cawapres.
“Sesungguhnya koalisi ini hanya sebagai pelengkap saja dalam pilpres. Tidak diperhitungkan sama sekali untuk menjadi pemenang. Mirip seperti Pilpres pada 2009 ketika muncul pasangan Hamzah Haz dan Agum Gumelar," demikian Ginting.
BERITA TERKAIT: