Salah satu indikator yang disebutkan dari kekhawatiran itu, adanya rencana perluasan penempatan prajurit TNI aktif dalam jabatan lembaga sipil.
Dikatakan Direktur Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid, sejatinya kritik yang dilakukan itu bertujuan baik. Sehingga, tidak pas dikatakan adanya ketidaksenangan pada revisi UU TNI.
"Kritik tidak boleh dilihat sebagai serangan terhadap institusi TNI atau kebencian personal, melainkan sebagai upaya bersama, dari masyarakat sipil dan para akademisi untuk memikirkan kemajuan TNI," ujar Usman dalam diskusi "Revisi UU TNI: Mengembalikan DwiFungsi, Melanggar Konstitusi, dan Mengkhianati Reformasi" di Universitas Negeri Yogyakarta, Kamis (8/6).
Usman menyoroti, pembangunan gelar kekuatan TNI harus memperhatikan dan mengutamakan apakah itu wilayah rawan keamanan, wilayah perbatasan, wilayah rawan konflik, geografis, dan lain sebagainya.
Hal-hal tersebut, menjadi alasan mengapa dia menolak draft RUU TNI saat ini. Seperti halnya terkait rencana penambahan Kodam untuk setiap provinsi.
"Hal ini menunjukkan bahwa masih kuatnya orientasi pembangunan postur dan gelar kekuatan TNI yang berorientasi ke dalam, bukan mengantisipasi ancaman dari luar," katanya.
Sementara itu, Direktur Imparsial Gufron Mabruri menyampaikan, saat ini tujuan reformasi TNI masih belum berjalan.
"Di antaranya adalah reformasi peradilan militer, restrukturisasi komando territorial, dan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu," terangnya.
Menurutnya, hal-hal ini tentu akan semakin sulit dan bahkan mustahil jika draft revisi U TNI yang seperti saat ini disahkan oleh DPR.
"Saat ini banyak militer aktif kita melakukan tugas dan fungsi di luar dari tugas pokoknya, seperti pelibatan militer dalam program ketahanan pangan pemerintah," pungkasnya.
BERITA TERKAIT: