Dalam pandangan peneliti Studi Rusia dan Eropa Timur di Hubungan Internasional (HI) Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Radityo Dharmaputra, proposal itu tidak memposisikan Rusia sebagai agresor dan justru melemahkan posisi tawar Ukraina. Proposal ini masih bias “great power” tapi seakan berusaha menjadi penengah dan netral.
Proposal itu bias, karena hanya didasarkan pengalaman Rusia dan Asia, tanpa menghitung trauma sejarah Eropa Timur dan negara bekas Soviet. Imperialisme Rusia di masa Soviet tidak diperhitungkan dan justru Indonesia meminta Ukraina dengan legowo duduk bersama bekas penjajahnya.
“Analoginya, meminta Ukraina duduk bersama Rusia tanpa ada jaminan keamanan, sama saja dengan meminta korban perkosaan duduk dan berdamai dengan pemerkosanya. Bukannya solider dan berempati, kita justru melakukan gaslighting pada korban (Ukraina) dengan mengatakan ‘ini demi wargamu’,” ujar Radityo dikutip dari akun Twitter-nya @RadityoDharmaP, Minggu (4/6).
Radityo menambahkan, proposal dari Prabowo seolah melanggengkan argumen “might is right” dalam politik global dengan dalih “ini realitasnya”.
“Kalau memang ini yang diinginkan, maka Indonesia harus bersiap ketika nanti ada wilayah kita yang diambil, kita harus terima pembentukan DMZ dan referendum,” sebut Radityo.
Lebih dari itu, dia berkata ketidakjelasan proposal yang ditawarkan Prabowo memunculkan pertanyaan siapa yang sebetulnya menyusun. Selain itu, apakah sudah dikoordinasikan dengan Presiden dan Kemlu, serta apakah proposal ini hanya “cek ombak” saja.
“Atau, lebih parahnya, jangan-jangan ini hanya pembentukan image menjelang Pemilu 2024? Apalagi sudah muncul narasi “berani”. Kalau iya, berarti celakalah kita, karena harga yang dibayar adalah reputasi Indonesia di mata dunia,” demikian Radityo.
BERITA TERKAIT: