Hal tersebut disampaikan anggota Komisi II DPR RI Arief Wibowo, dalam Rapat Kerja (Raker) bersama KPU, Bawaslu dan DKPP, di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta Selatan, Senin (3/4).
“Hemat saya putusan Bawaslu yang memerintahkan kepada KPU dengan sekian perintah (seperti verifikasi ulang), hemat saya tidak bisa dijalankan. Wong dari asal muasal yang tidak beralasan sah secara hukum,†ujar Arief.
Ia menguraikan, perkara kepemiluan jelas-jelas telah diatur dalam UU 7/2017 tentang Pemilu. Yaitu, baik sengketa proses pemilu maupun dugaan pelanggaran pemilu hanya bisa ditangani Bawaslu hingga Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Maka, Arief menilai dalam konteks hukum pemilu seharusnya gugatan perdata Prima di PN Jakpus tidak bisa diproses, dan tak bisa mengeluarkan putusan penundaan pemilu.
“Jelas PN bisa diduga melakukan
abuse of power, bukan kewenangannya (menangani gugatan perdata Prima),†tutur legislator PDI Perjuangan itu.
Di samping itu, Arief juga menilai Bawaslu telah bertindak di luar kewenangannya, karena menerima laporan dugaan pelanggaran pemilu KPU yang diajukan Prima, karena menerima putusan PN Jakpus sebagai bukti.
Ditambah, pada November 2022, Bawaslu telah memproses gugatan sengketa proses pemilu yang diajukan Prima, dengan hasil yang menyatakan data keanggotaannya tidak memenuhi syarat (TMS).
“Bawaslu ini tidak konsisten, dan ini tentu bisa dibaca dan bertaut erat adanya dorongan yang kuat untuk dilakukannya berdasarkan tentu keputusan politik apa yang disebut dengan penundaan pemilu,†tuturnya.
Oleh karena itu, Arief mendorong agar Bawaslu juga ditindak secara etik, mengingat ada kesalahan wewenang dalam menangani perkara, dan mengeluarkan putusan yang kontroversial dari segi hukum.
“Kepada KPU, atau kalau mau jalan lain, tentu mesti dipertimbangkan kita adukan ke DKPP diadili secara etik. Apakah putusan dan proses sebelumnya ini berpotensi kuat melanggar kode etik atau tidak, yang dilaksanakan oleh komisioner Bawaslu,†demikian Arief menambahkan.
BERITA TERKAIT: