Kejanggalan tersebut dilaporkan Kongres Pemuda Indonesia (KPI) sebagai dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim, ke kantor Komisi Yudisial, Jalan Kramat Raya, Senen, Jakarta Pusat, Senin (6/3).
“Anehnya, putusan PN Jakpus, di poin dua disebutkan Penggugat adalah parpol. Sedangkan di sini (dokumen permohonan gugatan), Penggugat adalah orang perorangan, AP dan DOTK (Ketua Umum Prima, Agus Priyono dan Sekretaris Jenderal, Dominggus Oktavianus Tobu Kiik),†ujar Presiden KPI, Pitra Romadoni usai pelaporan.
Selain itu, Pitra juga melihat tidak ada kesesuaian antara materiil hingga petitum gugatan yang dilayangkan dua Penggugat dengan kewenangan hakim pengadilan.
“Menurut hemat kami, putusan itu telah melanggar konstitusi negara Republik Indonesia Pasal 22E ayat (1), bahwa pemilu dilaksanakan 5 tahun sekali,†sambungnya menegaskan.
Maka dari itu, Pitra menggugat PN Jakpus yang ia anggap telah membuat kekisruhan, karena memutus penundaan Pemilu Serentak 2024 harus dilaksanakan, dengan alasan gugatan Prima yang menilai Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak profesional melakukan tahapan verifikasi parpol calon peserta pemilu.
“Panggil hakim dan jelaskan apa motifnya. Dan jelaskan ke rakyat bahwa pemilu dilaksanakan 5 tahun sekali,†demikian Pitra menambahkan.
BERITA TERKAIT: