Pemerintah dan DPR Ditantang Bikin Sanksi Tegas Bagi Penyelenggara Negara yang Tak Patuh Lapor Harta Kekayaan

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/jamaludin-akmal-1'>JAMALUDIN AKMAL</a>
LAPORAN: JAMALUDIN AKMAL
  • Kamis, 15 Desember 2022, 12:18 WIB
Pemerintah dan DPR Ditantang Bikin Sanksi Tegas Bagi Penyelenggara Negara yang Tak Patuh Lapor Harta Kekayaan
Ketua KPK, Firli Bahuri/Net
rmol news logo Pemerintah dan DPR RI ditantang untuk membuktikan komitmen membuat penyelenggara negara bebas dari KKN dengan mengubah aturan perundang-undangan tentang sanksi bagi penyelenggara negara yang tidak patuh melaporkan harta kekayaannya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Hal itu disampaikan oleh Ketua KPK, Firli Bahuri, menjawab soal banyaknya penyelenggara negara yang tidak patuh melaporkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) kepada KPK.

Firli mengatakan, KPK merupakan lembaga penegak hukum, bukan lembaga penghukum. Sehingga, KPK hanya melaksanakan apa yang diamanatkan dan diperintahkan oleh UU.
 
"LHKPN itu merupakan kewajiban daripada penyelenggara negara sebagaimana diatur Pasal 5 UU 28/1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme," ujar Firli seperti dikutip Kantor Berita Politik RMOL, Kamis (15/12).

Dalam UU tersebut, kata Firli, apabila penyelenggara negara tidak melakukan laporan LHKPN, hanya diberikan sanksi administratif.

"Nah kalau kita bicara sanksi administratif, maka itu dikembalikan kepada instansi di mana penyelenggara negara tersebut melaksanakan tugas," jelas Firli.

Saat ditanya apakah akan mendorong pemerintah dan DPR untuk mengubah sanksi menjadi lebih tegas bagi penyelenggara negara yang tidak patuh menyerahkan LHKPN, Firli  menyerahkan sepenuhnya inisiatif tersebut kepada pemerintah dan DPR.

Mengingat, dalam UU 28/1999 tersebut tidak ada aturan pemberian sanksi pemidanaan bagi penyelenggara negara yang tidak patuh menyerahkan LHKPN.

"Apakah ada inisiatif dari pemerintah atau DPR untuk melakukan perubahan UU 28/1999? Itu bukan kita, silakan saja kawan-kawan di DPR. Kalau kita berkeinginan betul-betul itu ada daya paksa," tegas Firli.

Karena, menurut Firli, penegakan hukum tujuannya hanya dua, yakni rekayasa sosial dan alat paksa. Sehingga, terkait LHKPN tidak alat paksa, maka perlu diberikan alat paksa agar patuh.

"Apakah itu berupa ancaman denda, atau mungkin kurungan, tapi kan tidak ada dalam UU 28/1999 memberikan sanksi itu, dia hanya mengatur sanksi administratif," terangnya.

Termasuk juga perluasan makna penyelenggara negara. Karena, dalam UU 28/1999, hanya dijelaskan secara limitatif, tidak bisa dijabarkan lebih luas makna penyelenggara negara.

"Coba anda lihat, eselon 1 di BUMN, penyelenggara negara itu termasuk penyidik, penyidik itu pangkatnya apa saja termasuk penyelenggara negara. Tetapi ada beberapa pihak yang memiliki kekuasaan yang besar, tapi tidak masuk dalam penyelenggara negara, misalnya pengurus partai politik tidak masuk di situ," paparnya.

"Jadi, saya kira tentu kita tunggu hak inisiatif daripada pemerintah maupun DPR, saya tidak masuk di dalam ranah itu," pungkas Firli. rmol news logo article

EDITOR: AGUS DWI

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA