Setuju UU ITE Direvisi, Nasdem: Pasal 27 Ayat 3 Dan Pasal 28 Ayat 2 Multitafsir

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/faisal-aristama-1'>FAISAL ARISTAMA</a>
LAPORAN: FAISAL ARISTAMA
  • Rabu, 17 Februari 2021, 13:45 WIB
Setuju UU ITE Direvisi, Nasdem: Pasal 27 Ayat 3 Dan Pasal 28 Ayat 2 Multitafsir
Anggota Komisi III DPR, Taufik Basari/Net
rmol news logo Pernyataan Presiden Joko Widodo yang meminta DPR merevisi Undang Undang 19/2016 sebagai perubahan UU 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) disambut baik Partai Nasdem.

Anggota komisi III DPR RI fraksi Nasdem Taufik Basari mengatakan, penerapan UU ITE selama ini seringkali bermasalah sehingga banyak memakan korban karena adanya pasal yang multitafsir alias karet.

Ia menilai ada beberapa Pasal karet dalam UU ITE itu antara lain Pasal 27 Ayat 3 dan Pasal 28 Ayat 2.

"Hemat saya, dalam penerapannya cenderung multitafsir. Pasal 27 Ayat 3 dan Pasal 28 Ayat 2 UU ITE misalnya, pasal ini menjadi pasal yang bisa multitafsir. Siapa saja bisa dikriminalisasi, bisa saling lapor. Masyarakat biasa, tokoh hingga jurnalis juga ikut terjerat" kata Taufik Basari di Jakarta, Rabu (17/2).

Taufik Basari menambahkan, pandangan Presiden untuk membuka peluang merevisi UU ITE sudah sesuai dengan fakta di lapangan.

Berdasarkan laporan yang dihimpun oleh ICJR, sejak 2016 sampai dengan Februari 2020, untuk kasus-kasus dengan pasal 27, 28 dan 29 UU ITE, menunjukkan penghukuman (conviction rate) mencapai 96,8 persen (744 perkara) dengan tingkat pemenjaraan yang sangat tinggi mencapai 88 persen (676 perkara).

Laporan terakhir SAFEnet menyimpulkan bahwa jurnalis, aktivis, dan warga kritis paling banyak dikriminalisasi dengan menggunakan pasal-pasal karet yang cenderung multitafsir dengan tujuan membungkam suara-suara kritis.

Sektor perlindungan konsumen, anti korupsi, pro demokrasi, penyelamatan lingkungan, dan kebebasan informasi menjadi sasaran utama.

Selain itu, data terbaru dari LBH Pers menunjukkan terdapat 10 kasus kriminalisasi terhadap jurnalis sepanjang 2020.

Dari 10 kasus kriminalisasi tersebut masyoritas menggunakan pasal karet UU ITE, 8 jurnalis dikriminalisasi dengan ketentuan UU ITE, 5 kasus menggunakan ketentuan Pasal 27 ayat (3) UU ITE tentang penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dan 3 kasus lainnya menggunakan Pasal 28 ayat (2) UU ITE tentang ujaran kebencian.

Ketentuan Pasal 27 ayat (3) UU ITE tentang penghinaan/ pencemaran nama baik secara daring pada implementasinya, penghinaan atau pencemaran nama baik diartikan secara luas, dan tidak merujuk pada batasan dan pengecualian yang diatur dalam Pasal 310-311 KUHP yaitu hanya dapat diproses dengan aduan dari pihak korban langsung dan tidak boleh menyerang penghinaan apabila dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri.

Konten jurnalistik dipastikan memenuhi aspek kepentingan umum, sehingga harusnya tidak dapat dijerat dengan pasal ini. Namun demikian, justru digunakan untuk mengkriminalisasi karya jurnalistik.

Dalam Pasal 27 Ayat (3) berbunyi;

"Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik".

Sementara pada pasal 28 ayat (2) berbunyi;  

"Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)".

"Muatan penghinaan, pencemaran nama baik termasuk kalimat menimbulkan rasa kebencian dan permusuhan dalam pasal 27 ayat 3 dan pasal 28 ayat 2 ini yang tafsirnya bisa luas. Kritikan bisa dianggap menghina, bahkan bisa dianggap menyebar informasi dengan tujuan menimbulkan rasa kebencian," demikian ulasan Taufik.

Pasal-pasal karet yang kerap dijadikan alat untuk melakukan kriminalisasi dan membungkam kebebasan berekspresi seperti dalam UU ITE, masih kata Taufik, pada akhirnya bisa menciptakan ketakutan di masyarakat dalam menyampaikan kritik.

"Olehnya itu, sebaiknya pasal yang potensial menjadi pasal karet dihapus atau dicabut saja," pungkasnya.

Presiden Jokowi sebelumnya menyatakan pemerintah membuka peluang untuk mengusulkan revisi UU ITE ke DPR apabila aturan ini dirasa memberi ketidakadilan kepada masyarakat.

Menurut Jokowi, ia melihat banyak pihak yang saling melaporkan dengan dasar UU ITE dan tidak sedikit pula yang merasa dirugikan.

"Kalau UU ITE  tidak bisa memberikan rasa keadilan ya, saya akan minta pada DPR untuk bersama-sama merevisi UU ini, UU ITE ini," kata Jokowi dalam rekaman video yang baru diunggah di akun YouTube Setpres, Senin (15/2) malam.

"Karena di sinilah hulunya, hulunya ada di sini, revisi. Terutama menghapus pasal-pasal karet yang penafsirannya bisa berbeda-beda, yang mudah diinterpretasikan secara sepihak," imbuhnya.rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA