Hal tersebut ditegaskan Direktur Eksekutif Democracy And Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia, Neny Nurhayati, sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 55/PUU-XVII/2019 terkait penerapan Pemilu nasional dan Pemilu lokal.
"Ini menjadi momentum yang tepat untuk dibenahi dan dievaluasi," ujar Neny Nurhayati, dalam keterangannya, Sabtu (30/1), dikutip
Kantor Berita RMOLJabar.
Menurutnya, Pemilu 2019 semestinya menjadi pembelajaran yang sangat berharga. Pasalnya, ratusan penyelenggara Pemilu meninggal akibat kelelahan.
"Selain itu, revisi UU Pemilu penting untuk melakukan pembenahan pada desain penyelenggara Pemilu yang lebih baik lagi kedepannya," tambahnya.
Terlebih, ia menilai tiga lembaga penyelenggara Pemilu, yakni KPU, Bawaslu, dan DKPP saat ini terlihat ada dalam egosentris masing-masing kelembagaan dan saling menegasikan.
"Oleh karenanya, harus ada kewenangan yang jelas antarlembaga penyelenggara pemilu. Jangan sampai kasus yang terjadi terus berulang. Itu harus diatur dalam revisi UU Pemilu," tegasnya.
Tidak terbayang, sambung Neny, jika Pemilu nasional dan daerah digelar serentak pada 2024. Meski memang tidak dalam waktu bersamaan, Pilkada digelar pada tahun yang sama dengan Pemilu Legislatif (Pileg) dan Pemilu Presiden (Pilpres).
"Pileg dan Pilpres pada April 2024, sementara Pilkada November 2024, tetapi hal ini tetap saja akan sangat menguras energi, sangat rumit dan kompleks dengan jeda waktu yang pendek," imbuhnya.
Mengingat hal tersebut, DEEP Indonesia akan terus mengawal revisi UU yang sudah masuk dalam Prolegnas. Diharapkan, adanya revisi UU Pemilu akan memperbaiki kualitas kepemiluan di Indonesia.
"Bukan hanya untuk Pemilu 2024 saja, melainkan juga untuk lima Pemilu yang akan datang," tandasnya.
BERITA TERKAIT: