Hal ini yang kemudian diluruskan oleh Sekretaris Komisi Fatwa MUI Asrorun Niam Sholeh, saat memberikan keterangan pers di Gedung Graha BNPB, Jalan Pramuka Raya, Matraman, Jakarta Timur, Kamis (19/3).
"Pro dan kontra di masyarakat ini lebih banyak dipicu kesalahpahaman dan juga parsialitas di dalam pemahaman fatwa. Fatwa ini ada 9 diktum yang satu kesatuan," ujar Asrorun Niam Sholeh.
Dalam rapat evaluasi fatwa MUI pada yang digelar online dan dihadiri 37 peserta pimpinan dan anggota komisi fatwa, pada Selasa (17/3) lalu, juga membahas adanya kesalahpahaman di masyarakat atas fatwa MUI ini.
Oleh karenanya, hal yang paling penting dan perlu dipahami publik ialah mengenai kondisionalitas wabah virus corona. Terkait dengan ini, masyarakat hanya diminta waspada akan penularan, yang bisa berasal dari kondisi sesorang dan kondisi suatu kawasan.
"Seseorang yang sudah positif terkena Covid-19, maka dia tidak boleh berada di komunitas publik, termasuk untuk kepentingan ibadah yang bersifat publik. Bukan berarti meniadakan ibadah, tapi semata kepentingan memberikan perlindungan agar tak menular ke yang lain," jelas Asrorun Niam Sholeh.
Sementara bagi orang sehat dan berada di kawasan yang potensi penyebarannya rendah, maka kewajiban ibadah Shalat Jumat tetap dilaksanakan, tapi harus memperhatikan protokol kesehatan, protokol sosial, dan protokol kehidupan bermasyarakatnya.
Adapun untuk meminimalisasi penularan Covid-19, MUI mengimbau kepada masyarakat agar menaati keputusan pemerintah mengenai
social distancing. Sebab upaya ini merupakan suatu ikhtiar unyuk menangani pandemik global ini.
"Setiap orang wajib melakukan ikhtiar menjaga kesehatan dan menjauhi hal yang dapat menyebabkan terpapar penyakit, karena hal ini menjadi bagian dari menjaga tujuan pokok beragama (
al dharuriyat al khams),†pungkasnya.
BERITA TERKAIT: