Perasaan ada Esemka, tapi entah di mana showroomnya. Banyak contoh "feel true" tanpa fakta di rezim ini.
Sindikat hitam bermain "diversionary conflict". Minoritas Tionghoa, nasrani, syiah, buddha, hindu, gay, leftist dan preman ditarik-tarik turun berpolitik. Ikut sebuah perang yang sulit mereka menangkan. A Hidden war. Pecah-belah Islam. Ciptakan New Cult of Nusantara. Targetnya; "domestic ethnic divisions and tension".
Rakyat Oposisi disuplai amarah. Pro Status Quo difeeding rasa takut. Anger & Fear = instinct survival R-Complex. Outputnya: Irasionalitas dan fanatisme. Tetap pilih presiden gagal.
Intellectual stuff is forgetten. Bombastic shit went viral like disease. Jurnalis bertransformasi menjadi buzzer.
Ahok dan penoda agama dibela. Supaya public gaduh dan menaikan sentiment Anti Tionghoa. Lupakan semua masalah.
Channelizing the people's energy in the wrong direction. Sontoloyo. Gendruwo. Tabok. Bawa bini orang ke Hotel murahan.
Beri minoritas privilege semu. Miskinkan mayoritas. Masukan penyusup ke Kubu Oposisi. Mainkan kartu rasial. Anti ini Anti itu. Samakan arti "nasionalisme" dan "xenophobic". Provokasi dan hasut sebanyak mungkin orang supaya ikut nyanyikan lagu kebencian. Buat mereka marah setiap hari. Sehingga sulit berpikir jernih. N Blame it on Islam.
Suntik "Islamophobic" ke dalam sanubari minoritas. Bohongin mereka dengan isu "Suriahnisasi Indonesia". Just like when they fabricated isu "Dewan Jenderal".
Fear dan histeria membuat public lupa eksistensi TNI dan patriot.
Tangkap Habib Bahar bin Smith, persekusi Neno Warisman, Kriminalisasi Ahmad Dhani dan Bubarkan HTI. Supaya minoritas percaya diri.
Tarik kembali Ngabalin, Yusril dan Kapitra. Copot topengnya. Ledakan bom hoax Ratna Sarumpaet. Fitnah Dahnil Anhar Simanjuntak dengan kasus korupsi. Delegitimasi oposisi.
Balik fakta. Kerdilkan aksi massa 212. Jaga supaya kepercayaan diri minoritas intact.
Ketika ekonomi hancur, Sindikat Hitam sudah memiliki minoritas sebagai "target penghancuran" dari run amock social unrest. Dan selamatlah rezim ini.
[***]
Penulis merupakan aktivis Komunitas Tionghoa Antikorupsi