Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Membaca ‘Konspirasi’ Asia Sentinel Secara Kritis

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/ak-supriyanto-1'>AK SUPRIYANTO</a>
LAPORAN: AK SUPRIYANTO
  • Sabtu, 15 September 2018, 10:16 WIB
Membaca ‘Konspirasi’ Asia Sentinel Secara Kritis
KASUS lawas terkait Bank Century tiba-tiba menyeruak ke publik. Sebuah situs berita yang berbasis di Hongkong, Asia Sentinel, 11 September lalu menurunkan artikel berjudul “Indonesia’s SBY Government: ‘Vast Criminal Conspiracy’. Artikel berbahasa Inggris itu (belakangan linknya hilang) segera menjadi kontroversi di Indonesia setelah diberitakan oleh media-media lokal tanah air.

Sayang sekali, media-media kita tidak mencoba mengulas tulisan John Berthelsen tersebut dalam perspektif kritis yang mencerahkan publik. Alih-alih, sebagian media memilih ‘menggaungkan’ klaim Berthelsen dan sebagian lainnya bahkan ‘menyangarkan’; membuat hal yang sebetulnya biasa-biasa saja menjadi seolah-olah sangat istimewa.

Ada beberapa aspek dari tulisan tersebut dan juga berita-berita lokal yang ‘menggaungkannya’ perlu dikritik, agar publik tak terlalu ‘syur’ apalagi langsung menganggap informasi itu sebagai karya jurnalistik yang ‘dahsyat’ dan penuh kebenaran.

‘Perayaan’ atas tulisan tersebut sebagai karya jurnalistik- hanya menunjukkan inferiority complex mentalitas dunia ketiga yang mudah menganggap produk asing atau barat sebagai hebat dan benar, sebagaimana kerap dibongkar dalam kajian pascakolonial.

Padahal, tidak ada sumber lain yang coba dirujuk oleh Berthelsen kecuali apa yang dia sebut sebagai dokumen investigasi bertebal 488 halaman yang mendampingi gugatan Weston International Capital ke pihak J Trust. Menurut Asia Sentinel, gugatan itu dimasukkan ke Mahkamah Agung Mauritius pada minggu pertama September 2018.

Subyek tulisan itu adalah perkara Bank Century, dan pendasaran pada satu sumber yang belum terverifikasi dan teruji informasinya tentulah lemah. Kualitas tulisan seperti itu kalah jauh dengan laporan-laporan terkait kasus Century di Majalah Tempo dalam rentang tahun 2010-2011 yang menelisik berbagai dokumen dan mewawancarai berbagai sumber.

Kita akan memperoleh informasi yang jauh lebih kaya, rigid, dan informatif dengan bukti-bukti yang terpercaya. Apalagi, laporan Asia Sentinel tidak memuat satu pernyataan pun dari pihak-pihak yang memiliki otoritas untuk mengkonfirmasi validitas isi dokumen tersebut, juga memasukkan informasi dari sumber-sumber non Weston.

Padahal, untuk membuat artikel tersebut lebih berimbang tentu tidak sulit bagi Asia Sentinel. Sehingga, nama-nama yang disebut dalam tuduhan-tuduhannya mendapatkan ruang untuk menjelaskan versinya.

Situs berita berbasis di Hongkong ini tergolong sangat aktif memberitakan perseteruan Weston dan J Trust selama beberapa tahun terakhir. Jika kita merujuk ke website Weston International Capital Ltd., gugat menggugat antara Weston dan afiliasinya dengan J Trust dan pihak-pihak terkaitnya terjadi sejak tahun 2015. Namun, juga terjadi berbagai pembaruan perkara maupun gugatan baru yang terus berkembang hingga tahun 2018. Ada gugatan yang juga menempatkan LPS, Bank Mutiara, dan Bank J Trust Indonesia sebagai pihak tergugat setelah J Trust .

Namun, tak ada gugatan kepada nama-nama besar yang dihebohkan, seperti SBY, partai Demokrat, atau Boediono. Detail gugatan dan duduk perkara gugat menggugat kedua belah pihak sayangnya tak pernah dijelaskan oleh media-media lokal yang mencoba mengamplifikasi pemberitaan Asian Sentinel itu, sehingga terjadi misleading pada sebagian khalayak konsumen media.

Metro TV bahkan memuja karya Berthelsen sebagai "investigasi " yang seolah paripurna- padahal dokumen gugatan hukum bukanlah hal terlalu memerlukan keringat untuk mendapatkannya dan menuliskan intisarinya.

Saya menilai, investigasi untuk membongkar informasi tentang bandar narkoba di sebuah daerah yang merupakan anggota DPRD dari partai tertentu yang sedang menjadi bagian pemerintah berkuasa, dimana bandar itu menyimpan ratusan kilogram sabu dan puluhan ribuan pil ekstasi, akan lebih sulit secara teknis maupun non-teknis.

Weston International Capital rajin memosting rilis atas perkembangan perkara baru mereka di pengadilan Mauritius, meskipun tidak ada perkembangan baru dalam gugat menggugat itu selama tiga bulan terakhir. Rilis terakhir Weston International Capital tertanggal 8 Mei 2018 malah menjelaskan soal civil damage atau gugatan ganti rugi immaterial kepada J trust karena tuduhan pengingkaran keputusan pengadilan atas salah satu kasus mereka yang telah diputuskan oleh pengadilan Mauritius. Sama sekali tidak ada rilis mengenai gugatan baru yang menyeret-nyeret nama pemerintahan SBY seperti yang diramaikan belakangan.

Inti masalah perseteruan kedua kubu, seperti tertera di salah satu rilis J Trust bulan 2 Februari 2018; pihak Weston menuduh J Trust dan pihak-pihak terkait lainnya "khususnya LPS- melakukan kecurangan dalam proses pengambilalihan Bank Mutiara" nama baru Century- oleh J Trust. Weston yang dalam posisi sebagai kreditur prioritas merasa dihalang-halangi untuk mengakuisisi J Trust sehingga perusahaan investasi yang berpusat di Mauritius itu mengklaim menderita kerugian sehingga menuntut ganti dari para tergugat.

Di antara tergugat juga terdapat bank dan lembaga keuangan milik keluarga Saab dari Lebanon (pemilik beberapa lembaga keuangan di antaranya di antaranya Saab Financial yang berbasis di Bermuda) yang dituduh menjadi tempat pencucian uang dari Bank Mutiara. Dalam laporan Berthelsen disebutkan bahwa Weston mengklaim J Trust yang melakukan penawaran saham di Tokyo pada tahun 2013 untuk mendapatkan sumber dana dari pihak yang tidak teridentifikasi, dimana dana tersebut digunakan untuk membeli Bank Mutiara.

Proses pembayaran J Trust ke Mutiara pun disebut tidak transparan dan konspiratif, bahkan memunculkan pertanyaan menduga-duga apakah J Trust mendapatkannya gratis (Did J Trust get it Free?). Nama Kartika Wirjoatmodjo, eks Kepala Eksekutif LPS yang kini menjabat sebagai Dirut Bank Mandiri, disebut-sebut sebagai pendesain skema pembelian yang dikatakan dokumen tersebut: “dengan maksud nyata menjarah dana cadangan LPS dalam jumlah melebihi 1,05 Miliar USD selama 10 tahun”.

Dokumen investigasi tersebut jika benar seperti yang ditulis oleh Berthelsen- beraroma konspirasi seperti salah satu kata yang menjadi judul berita. Ada berbagai tuduhan yang serius, misalnya, kolaborasi 30 orang pejabat yang secara bersama-sama selama 15 tahun berupaya mencuri, mencuci, dan menyembunyikan lebih dari 6 Miliar USD atas perintah Presiden Indonesia dan Wakil Presiden Boediono.

Kita tidak tahu, 15 tahun yang dituduhkan itu dalam rentang waktu tahun berapa hingga tahun berapa. Sebab, SBY-Boediono berkuasa hanya 5 tahun saja. SBY memerintah hanya dalam kurun waktu 10 tahun.

Apabila perintah itu tetap berlaku selama kekuasaan Presiden Joko Widodo, saya agak ragu dapat berjalan efektif. Karena, SBY dan Boediono tak punya power yang kuat lagi. Banyak pejabat di sektor keuangan juga telah berganti dengan orang-orang baru, khususnya di lembaga-lembaga yang disebutkan di artikel Berthesen; Bank Indonesia, Lembaga Penjamin Simpanan, Kementerian Keuangan, maupun juga Kemneterian Hukum dan HAM. Jelas, mereka orang-orang baru yang dipilih pemerintahan Joko Widodo.

Hal lain yang menggelitik adalah tuduhan bahwa Bank Century menjadi tempat penyimpanan dana kampanye Partai Demokrat. Saya langsung teringat Anas Urbaningrum, Ketua Partai Demokrat pada saat terjadinya penyelamatan Bank Century. Anas yang kemudian tersingkir dari PD dan berjanji akan membongkar banyak rahasia SBY, hingga saat ini tak pernah bisa meyakinkan publik bahwa dia memiliki pemahaman yang baik mengenai kasus Bank Century, meskipun sempat ‘didewa-dewakan’ oleh anggota para anggota Pansus Century saat ramai-ramai datang ke rumahnya dan meminta ia membuka ‘halaman baru’ seperti yang pernah ia pidatokan.

Selain itu, dalam audit forensik dan audit investigatif BPK justru ditemukan nama-nama nasabah valas Century dan pemilik LC bodong yang merupakan pengurus dan kader partai-partai lain non-Demokrat, seperti merah maupun partai putih.

Tentu aneh jika audit BPK maupun laporan Pansus DPR tidak dapat memberikan satu clue pun terkait akun-akun yang diduga terkait dengan Partai Demokrat itu, sementara pengadilan telah memvonis salah satu politisi yang vokal dalam masalah Century serta serta duduk sebagai anggota Pansus Century itu bersalah dalam kasus LC bodong, dan memasukkannya ke dalam jeruji penjara.

Satu hal penting dari dokumen yang dituturkan Berthelsen itu adalah bau simpati yang harum pada Rafat Ali Rizvi dan Hesham Al Warraq, dua pemegang saham Bank Century dan partner "terpidana" eks Presdir Robert Tantular- yang dinyatakan buron oleh pengadilan Indonesia setelah diadili in-absentia atas dakwaan berkomplot untuk ‘menggarong’ uang Bank Century senilai 365 juta USD.

Artikel Berthelsen menulis berdasarkan dokumen itu, bahwa otoritas Indonesia segera ‘membereskan kekacauan’ dan mengembalikan dana kampanye ilegal ke rekening Budi Sampoerna serta lebih menyalahkan Tantular dan dua orang rekannya tersebut.

Selepas buron, Hesham dan Rafat pernah menggugat pemerintah Indonesia di Arbitrase Internasional namun gugatan keduanya ditolak. Terakhir, tahun 2015 lalu, Arbitrase Internasional mementahkan seluruh gugatan Hesham dus tuntutan ganti rugi sebesar Rp. 1,3 Trilyun tak dapat dipenuhi.

Meskipun banyak mengulas apa yang disebutnya sebagai ‘kecurangan’ atas Bank Century tahun 2004-2018, artikel Berthelsen tak menyinggung peran penting Menkeu Sri Mulyani pada kurun waktu itu, khususnya dalam momen bail-out Bank Century.

Bahkan, nama (leterlek) “Sri Mulyani” pun tak ada dalam tulisan Berthelsen tersebut. Apakah ‘dokumen’ itu hendak menghindarkan diri dari situasi yang lebih kompleks jika harus berhadapan dengan rezim Jokowi, sehingga memutuskan tidak ‘ngulik-ulik’ Sri Mulyani? Wallahualam.

Sebab, posisi Sri Mulyani ini unik jika kita berbicara mengenai politik kasus Century. Sri dulu berbeda dengan sekarang; dalam arti lawan-lawan yang dulu menghujatnya, sekarang banyak yang berubah jadi kawan dan pemujanya. Secara politik, Sri Mulyanilah orang terdepan dalam menghadapi tekanan politik bertubi-tubi dari para politisi karena ia dianggap bertanggungjawab langsung atas hal yang dipersalahkan oleh oposisi namun dibenarkan oleh pemerintah dan para pendukungnya.

Banyak pengamat menganggap kebijakan bail-out Century berhasil menghindarkan Indonesia dari risiko dampak sistemik krisis perbankan serta menyelamatkan negeri dari terpaan krisis 2008. Meski demikian, politisasi yang kencang atas kasus itu mendorong Sri untuk memutuskan mundur dari jabatan Menkeu dan menerima pekerjaan sebagai Direktur Pengelola Bank Dunia.

Andai tulisan Berthelsen juga memuat versi J Trust, tentu akan kelihatan lebih menyenangkan bagi pembaca, meskipun hal tersebut sulit tercapai karena berita-berita Asia Sentinel tentang gugat-menggugat kedua kubu lebih cenderung memberi suara pada Weston.

J Trust dalam rilisnya menyatakan bahwa klaim-klaim Weston tidak masuk akal dan bertentangan dengan fakta. Secara umum, J Trust merasa bahwa tuduhan penggugat tidak beralasan dan tidak berdasar. Pengadilan Mauritius pun dipandang tidak memiliki yurisdiksi atas masalah yang digugatkan.

Ada juga fakta-fakta lain yang diungkap oleh J Trust. Misalnya, pada bulan Oktober 2016, sebuah perkara terkait kedua pihak yang ditangani oleh Pengadilan Distrik Tokyo telah berakhir dengan putusan final bahwa J Trust tidak memiliki kewajiban yang untuk melaksanakan keputusan pengadilan Mauritius. Lalu, sebuah perkara yang diadili oleh sebuah pengadilan di New York, malah memerintahkan Weston Capital Advisor, Inc. "afiliasi" Weston International Capital Ltd.- mengembalikan uang sekitar USD 3,6 juta kepada J Trust.

Publik Indonesia yang kritis musti meletakkan tulisan Asia Sentinel itu dalam kerangka yang lebih lengkap. Sebab, apa yang dikemukakan Berthelsen hanyalah bersumber dari satu sumber yang belum teruji kevalidannya. Publik juga perlu tahu bahwa bagi sebagian kalangan, reputasi Asia Sentinel kurang ‘sip’.

Dr. Masato Kajimoto dari Pusat Jurnalisme dan Kajian Media Universitas Hongkong termasuk yang mengkritik tajam situs berita yang berbasis di Hongkong itu karena pernah memproduksi ‘jurnalisme rumor’. Salah satunya, adalah berita tentang aksi pro-demokrasi di Hongkong tahun 2014 yang ditulis Berthelsen sebagai gerakan politik yang didukung pemerintah Amerika Serikat.

Klaim yang ‘menghebohkan’ tersebut, setelah ditelusuri, rupanya bersumber dari sebuah tulisan blog yang menceritakan pertemuan rahasia antara aktivis-aktivis Hongkong dengan pejabat2 Amerika Serikat. Kisah itu kemudian terbukti hanya rumor yang tidak valid.

Dr. Kajimoto kerap menggunakan kasus pemberitaan Asia Sentinel itu sebagai contoh-contoh dalam kuliahnya; mengenai betapa buruk jurnalisme di era internet ini. Berkembangnya media sosial justru memfasilitasi penyebaran informasi yang tidak otentik, tidak berbasis fakta, dan bermotif politik kerap, sehingga berpotensi mengelabuhi publik.

Seperti ditulis dalam buku "Handbook of Research on Media Literacy in the Digital Age" yang dieditori Melda N. Yildiz, Kajimoto memprihatinkan berita yang dibangun dengan sumber-sumber dengan kredibilitas meragukan, akurasi informasinya tak pernah diverifikasi, serta klaim-klaim yang dibuatnya tidak memiliki dasar yang kuat. Sayangnya, berita ‘heboh’ yang ditulis oleh website berbahasa Inggris seringkali langsung diamini dan digaungkan oleh media-media lokal tanpa ulasan kritis karena faktor inferiority complex dan motif politik.

Saat Asia Sentinel menulis tentang protes pro-demokrasi Hongkong tahun 2014 yang didukung Amerika Serikat, media-media mainstream RRC seperti China Daily dan koran2 lokal Hongkong juga langsung menggelorakan informasi tersebut tanpa pernah memverifikasi dan menguji kesahihannya.

Hal ini tentu menjadi poin evaluasi bagi publik tentang bagaimana menyikapi informasi di era internet; bahwa media mainstream pun, setelah terkena hawa internet- kerap lupa dengan disiplin verifikasi dan serangkaian uji kualitas informasinya sebelum ikut menyebarkannya. Dalam situasi sedemikian, pembaca diharapkan tak boleh menyimpan kacamata kritisnya saat membaca berita dari outlet media apapun.

Khusus bagi Partai Demokrat, saran terbaik adalah meneruskan tradisi yang telah mereka miliki dalam menyelesaikan sengketa pemberitaan, yaitu melalui mekanisme pengaduan ke Dewan Pers. Dalam pemberitaan Asia Sentinel ini, ada dua dewan pers yang harus dilapori; Dewan Pers Indonesia dan Dewan Pers Hongkong. Berita ‘konspirasi’ ini akan menjadi tantangan baru bagi dewan pers kedua negara dalam mencari formulas penyelesaian sengketa pemberitaan media online yang dibaca dan mempengaruhi masyarakat lintas negara.[sdy]

Koresponden RMOL.CO Eropa

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA