Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Dilema Prabowo: Antara Salim Dan AHY

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/said-salahudin-5'>SAID SALAHUDIN</a>
OLEH: SAID SALAHUDIN
  • Selasa, 31 Juli 2018, 08:33 WIB
Dilema Prabowo: Antara Salim Dan AHY
Said Salahudin/Net
PEMUNCULAN Habib Salim Segaf Aljufri oleh Gerakan Nasional Pembela Fatwa Ulama (GNPFU) sebagai kandidat calon wakil Presiden (cawapres) Prabowo Subianto tampaknya akan membuat proses penentuan cawapres dari kubu penantang menjadi semakin alot.

Kalau saja bukan nama Habib Salim yang dimunculkan, mungkin nama cawapres Prabowo bisa lebih cepat disepakati oleh Partai Gerindra, PKS, PAN, dan Partai Demokrat.

Sebab, diantara empat nama cawapres Prabowo yang sebelumnya mengemuka, yaitu Ahmad Heryawan atau Aher (PKS), Zulkifli Hasan atau Zulhas (PAN), Agus Harimurti Yudhoyono atau AHY (Demokrat), dan Anies Baswedan, saya perhatikan posisi terkuat sudah ditempati oleh AHY.

AHY menguat karena PAN tidak terlalu 'ngotot' untuk memajukan Zulhas. Sedangkan Anies, karena dia bukan orang partai, dorongannya tidak cukup kuat. Sementara Aher, dari sisi elektabilitas dia diperhitungkan kalah kuat dari AHY.

Jadi, kalau empat ketua umum parpol itu duduk semeja, misalnya, perdebatan nama cawapres diantara mereka saya kira hanya akan berpusat pada dua nama saja: AHY dan Aher.

Dan ketika mereka beradu data untuk menimbang secara objektif tentang kelebihan dan kekurangan AHY dan Aher, maka timbangan tentang prospek penambahan suara bagi Prabowo sepertinya akan lebih berat ke AHY.

Terbatasnya tingkat pengenalan, basis dukungan, dan pengaruh Aher boleh jadi membuat kadar timbangannya menjadi ringan. Sementara timbangan AHY menjadi berat karena dia berpeluang merebut suara pemilih milenial yang jumlahnya signifikan.

Nah, posisi AHY yang sudah menguat ini sekarang terancam karena GNPFU ternyata tidak mengusulkan nama Zulhas, Anies, Aher, atau nama lain sebagai cawapres bagi Prabowo, tetapi mereka justru menawarkan nama Habib Salim yang sebelumnya tidak terlalu diunggulkan.

Ketika yang dimunculkan nama Habib Salim, peta persaingan di kubu 'oposisi' bisa berubah lagi. Kekuatan AHY terpaksa harus ditimbang ulang. Sebab, Habib Salim jelas lebih kuat dari Aher.

Dia non-jawa, mantan dubes, mantan menteri, dan lebih dari itu 'maqom' Habib Salim tidak sama dengan Aher. Dia punya garis keturunan yang oleh sebagian pemilih muslim dipandang mulia. Sebab dia memiliki nasab dengan Nabi Muhammad SAW.

Dengan nasabnya itu, dia tenfu berpotensi meraup suara pemilih muslim lebih banyak dibandingkan dengan Aher.

Oleh sebab itu, ketika GNPFU memajukan nama Habib Salim, PKS sebetulnya sangat terbantu. Sebab atas dukungan itu, peluang PKS yang sempat mengecil untuk memajukan kadernya sebagai cawapres Prabowo kini kembali terbuka lebar. Pantaslah jika PKS berterimakasih kepada GNPFU.

Dari hasil 'Ijtimak' Ulama yang digelar oleh GNPFU itu, posisi tawar PKS dihadapan Prabowo, termasuk juga Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) semakin kuat. Apalagi PAN lewat Amien Rais sudah memberi kode setuju untuk duet Prabowo-Salim.

Sebetulnya, setelah membaca pergerakan Prabowo selama ini, saya hampir sampai pada kesimpulan bahwa Prabowo akan mengambil AHY. Sinyal Prabowo itu sudah tampak sejak ia mengunjungi rumah SBY pada beberapa waktu yang lalu.

Tetapi setelah nama Habib Salim mencuat, Prabowo tampaknya akan berhitung ulang untuk mencomot AHY. Sebab dia kadung berjanji untuk ikut pada arahan ulama. Saya menduga, Prabowo sepertinya juga tidak mengira GNPFU akan menduetkan dia dengan Habib Salim.

Bukan cuma Prabowo, usulan GNPFU itu juga sepertinya membuat SBY "deg-deg-an". Sebab saya yakin SBY tahu betul beda antara Aher dan Habib Salim. Dia pasti punya kalkulasi tersendiri soal dua nama pesaing anaknya itu.

Sebagai orang yang pernah berkuasa selama dua periode, SBY pastilah bisa mengukur implikasi politik dari dimunculkannya nama Habib Salim oleh kelompok Islam politik yang tengah berkibar semisal GNPFU.

Masalahnya, hubungan SBY dengan GNPFU terbilang tidak cukup harmonis. Ini jadi persoalan lain lagi bagi SBY. Hal ini mengakibatkan SBY agak kesulitan untuk melobi kubu GNPFU agar mau menukar Habib Salim dengan AHY.

Relasi yang kurang baik antara SBY dengan GNPFU dan menguatkan 'bargaining posistion' PKS terhadap Prabowo itulah yang saya duga melatari alasan SBY mendatangi Prabowo pada hari ini.

SBY tentu perlu meyakinkan kembali Prabowo agar tetap berpasangan dengan AHY. Mungkin juga SBY datang untuk 'menitip salam' kepada Habib Rizieq Shihab (HRS) lewat Prabowo.

Sebagai calon Presiden (capres) pilihan HRS, Prabowo dalam pandangan SBY boleh jadi dianggap sebagi pihak yang paling mampu meluluhkan hati HRS dan GNPFU agar mau menerima AHY.

Untuk memuluskan harapannya itulah maka tak heran jika SBY pada hari ini (30/7/2018) sudah berani mengambil keputusan untuk membangun koalisi antara Demokrat dan Gerindra, sambil berkata: Prabowo Presiden kita.

Jadi koalisi yang disepakati pada hari ini oleh Prabowo dan SBY saya baca tidak lepas dari tujuan SBY untuk mengamankan AHY sebagai cawapres Prabowo, betapapun kukuh dikatakan tidak ada pembicaraan khusus mengenai posisi cawapres.

Ketika Prabowo mengatakan SBY tidak memaksakan AHY untuk menjadi cawapresnya dan menyerahkan penentuan posisi cawapres sepenuhnya kepada dirinya, saya kira itu sekedar fatsun politik saja.

Prabowo sepertinya ingin menjaga kehormatan SBY dan pada saat yang sama berusaha menjaga perasaan PKS dan PAN sebagai mitra koalisi potensial berikutnya. [***]

Penulis adalah pemerhati politik, pemilu dan kenegaraan

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA