Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Artis Nyaleg: Ingat, Parlemen Bukan Bunker

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/ilham-bintang-5'>ILHAM BINTANG</a>
OLEH: ILHAM BINTANG
  • Minggu, 15 Juli 2018, 15:38 WIB
Artis Nyaleg: Ingat, Parlemen Bukan Bunker
Foto: Istimewa
ARTIS Rachel Maryam mengkelap. Presenter TVOne Andromeda Mercury  membuka percakapan pagi itu dengan pertanyaan menohok. Apa bisanya artis yang mau menjadi anggota DPR-RI?

Ini kontan diprotes Rachel.

“Wah! Pertanyaannya diskriminatif,” kata Rachel. Artis cantik ini anggota  Fraksi Partai  Gerindra. Sudah dua priode di parlemen.

Sebagai wartawan,  Andromeda tak salah bertanya kritis begitu. Dengan itulah  ia menghidupkan diskusi acara  “Apa Kabar  Indonesia Pagi TVOne” yang disiarkan live Sabtu (14/7) pagi.

Rachel juga wajar protes. Merasa diremehkan.

“Dari dulu pertanyaan begitu selalu diajukan. Seolah artis tak berhak,” katanya. Topik acara diskusi kemarin: “Lagi, Artis Jadi Magnet Parpol”. Rachel Maryam (Gerindra), Jane Shalimar (Demokrat) dan penulis tampil sebagai nara sumber.

Saya langsung menengahi. Pertanyaan yang tepat mungkin begini. Apa yang mau disuarakan dan diperjuangkan artis di parlemen? Rachel terlihat lega.

Puluhan Artis

Diskusi  di TVOne menyambut penutupan pendaftaran bagi seluruh caleg di KPU, Selasa (17/7).  Pada pemilu 2019 memang  tercatat  puluhan artis maju menjadi caleg. Mereka memang masih  jadi magnet parpol untuk mendulang suara publik. Malah santer isu, ada satu Parpol membajak artis dari parpol lain dengan iming-iming uang transfer yang menggiurkan. Begitu tandatangan, bayaran langsung transfer.

Mengenai kebenarannya, wallahualam. Yang pasti, hampir  semua parpol peserta pemilu masing- masing mengajukan caleg dari kalangan artis.

Partai Amanat Nasional paling top. Mereka mendaftarkan belasan artis untuk jadi caleg. Dari dulu begitu. Makanya PAN diplesetkan menjadi “Partai Artis Nasional”.

Pada Pemilu 2019 ada artis yang baru pertama kali maju. Ada untuk  priode kedua. Ada juga yang mau hattrick alias priode ketiga. Di kelompok ini ada Rachel Maryam, Primus Yustisio, Eko Patrio.

Terbuka

Sistem politik kita memang memberi peluang  kepada semua warganegara untuk menjadi anggota parlemen. Peluang lebih besar tentu dimiliki oleh  para figur publik. Artis, salah satu.

Kata kunci pemilu memang harus dikenal luas oleh publik.  Artis penyanyi, pemain film, pemain sinetron yang produktif, pasti dikenal luas dan punya fans sekaligus kans   besar. Itu bisa kita lihat di akun media sosial mereka masing- masing. Seperti Twiiter, Facebook, Instagram, dan sebagainya. Ada beberapa artis kita yang punya 20 juta followers. Untuk  menjadi anggota parlemen butuhnya  paling banyak “hanya” 400 ribu pemilih untuk dapat kursi di Senayan.

Berkaca pada hasil Pemilu 2014 artis yang sekarang duduk di Senayan, bahkan untuk priode keduanya, perolehan suaranya tidak tinggi -tinggi amat. Berkisar  antara 50-70 ribu. Untuk Dapil Jawa Barat, misalnya, perlu suara pemilih sekitar 200 ribu baru dapat kursi parlemen. Artinya, artis yang berasal dari dapil Jawa Barat yang lolos ke Senayan, disubsidi suara oleh partainya. Tidak ada yang murni berkat suara mereka.

Tetap kerja keras

Artis pun perlu kerja keras untuk sampai Senayan. Tidak  semata  modal terkenal.

Citra dan kiprahnya selama ini  turut berperan penting. Mengetahui dan perduli  pada  permasalahan rakyat yang perlu diperjuangkan. Rieke Diah Pitaloka dan Miing Bagito bisa jadi contoh artis yang mendapat pengakuan publik karena kiprahnya menggaungkan  aspirasi mereka. Rieke dalam bidang perjuangan tenaga kerja. Miing di bidang olahraga.

Banyak  artis yang gagal sampai Senayan. Juga  tidak berhasil menduduki jabatan kepala daerah meski sangat terkenal. Tahun lalu Rano Karno kalah di Banten. Barusan Deddy Mizwar takluk di Jawa Barat. Padahal, kurang  prestasi apa dua artis itu di bidangnya? Dua-duanya sempat mengecap pula jabatan Wakil Gubernur. Rano malah sempat setahun jadi Gubernur Banten mengganti Ratut Atut yang masuk penjara. Deddy Mizwar 5 tahu mendampingi Gubernur Aher sebagai Wagub di Jawa Barat.

Di parlemen ada  beberapa artis terbilang istimewa. Bisa terpilih sampai dua kali. Tahun depan mau maju lagi untuk priode ketiga. Meski kiprahnya di parlemen tidak dirasakan rakyat. Bersuara pun tidak, seperti  orang gagu. Parlemen hanya menjadi bunkernya.

Seperti ratusan anggota DPR-RI lainnya yang bisu diam seribubasa. Yang kita baru  tahu wajah dan namanya ketika sudah pakai rompi orange disorot kamera teve. Mereka dicokok KPK karena  skandal korupsi.

Senayan bagi sebagian artis cuma jadi tempat beristirahat. Menikmati hidup dengan gaji buta dan fasilitas sebagai orang terhormat.

Yang berbakat koruptor, Senayan menjadi laboratoriumnya sekaligus. Menguji coba menjadi kaya rata dari uang negara.

Tadi kita bicara kelebihan artis. Tentu mereka  juga punya  risiko lebih besar. Karena amat dikenal, mudah pula tercemar. Terutama kalau  terlibat penyimpangan prilaku dan korupsi.

Ada cerita sedih artis yang pernah mau jadi kepala daerah. Begitu mendaftar di KPU, esoknya headline surat kabar menyambutnya dengan “sampah” tempo hari. Baik yang terlibat kasus narkoba maupun yang terkait skandal kekerasan dalam rumah tangga dan kasus  seks. Habislah mereka jadi bulan-bulanan sorotan pers. Pada waktu itu mungkin dia menyesali dirinya kenapa jadi artis. Sebab,  kalau bukan artis atau tokoh terkenal tidak semenderita mereka lah.

Dalam diskusi di TVOne kemarin, saya meng-appeal Rachel, Jane, dan semua kalangan artis. Cobalah rumuskan apa yang mau diperjuangkan ketika nanti duduk di Senayan. Sering turun ke tengah masyarakat. Rasakan, suarakan dan perjuangkan sampai terwujud apa yang didamba  rakyat.

Waktu diskusi berlangsung, seperti itu juga  suara rakyat yang diwawancarai wartawan TVOne.

Para artis hendaknya berlatih menyusun pikiran. Publish pikiran itu. Jangan tunggu wartawan yang lebih memberi kesempatan mewancara dengan petinggi parlemen, partai, fraksi dan komisi.

Seperti yang dikeluhkan Rachel. Katanya, tidak ada wartawan yang mewawancarainya selama ini.  Benar suara parlemen suara kolektif. Tapi tidak mematikan pendapat perseorangan dari anggota.

Suara kebenaran tidak boleh tersumbat oleh faktor apapun. Apalagi yang sifatnya birokratis. Salurkan pikiran di  media sosial yang penggunanya di Tanah Air  hampir sama besar dengan jumlah penduduk kita. Presiden Jokowi sendiri pun menggunakan medsos untuk menyapa dan menyuarakan pendapatnya. Begitu pun dengan menteri, petinggi-petinggi parpol.

Jangan kalah sama kecintaan nitizen pada bangsa dan tanah air melaui medsos. Padahal, mereka tidak digaji satu sen oleh negara. Tetapi para nitizen itu aktif melakukan kontrol dengan pulsa sendiri. Dan, banyak membuahkan hasil. Satu hari saja kemarin mereka membongkar praktek  oknum polisi. Satu yang menyiksa ibu-ibu di sebuah  mini market. Satu lagi di Kalimantan. Yang bikin kantor bersama dengan Cina. Wualah. Siapa boss mereka yah?! [***]

Penulis adalah wartawan senior. Artikel ini dimuat pertama kali di Ceknricek.com.

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA