"Padahal sejak amandemen ke-4, maka konstitusi kita pindah dari falsafah
concentration of power upon the president, menjadi
check and balances," kata Wakil Ketua DPR Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat (Korkesra).
Bahkan, lanjut politisi dari PKS itu, sejak amandemen UUD ke-4, bangsa Indonesia sudah meninggalkan rezim eksekutif kuat menuju keseimbangan kekuatan antara cabang-cabang kekuasaan.
"Maka, kekuatan pengawasan diberikan kepada legislatif dengan segala konsekuensinya seperti hak memanggil secara paksa apabila panggilan tidak dipenuhi," tegas Fahri.
Sebelumnya, dalam amar putusan perkara Nomor 16/PUU-XVI/2018 yang dibacakan Hakim MK Anwar Usman disebutkan bahwa mengabulkan sebagian uji materi yang diajukan Pemohon terhadap UU MD3, di mana salah satunya adalah membatalkan kewenangan DPR untuk bisa memanggil paksa seseorang.
Kewenangan DPR melakukan pemanggilan paksa ini semula diatur dalam Pasal 73 Ayat (3), Ayat (4), Ayat (5), dan Ayat (6) UU MD3. Panggilan paksa ini dilakukan dengan menggunakan kepolisian.
Dijelaskan pula bahwa dalam menjalankan panggilan paksa, kepolisian dapat menyandera setiap orang untuk paling lama 30 hari.
Dalam pertimbangannya, MK berpendapat bahwa panggilan paksa dan sandera adalah ranah hukum pidana. Sementara proses rapat di DPR bukan bagian dari penegakan hukum pidana.
MK juga menilai kewenangan DPR untuk melakukan pemanggilan paksa bisa menimbulkan kekhawatiran yang berujung pada rasa takut setiap orang. Hal itu juga dapat menjauhkan hubungan kemitraan secara horizontal antara DPR dengan rakyat.
[wid/***]
BERITA TERKAIT: