Metode, Stratak Dan Kalkulasi

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/zeng-wei-jian-5'>ZENG WEI JIAN</a>
OLEH: ZENG WEI JIAN
  • Kamis, 28 Desember 2017, 05:06 WIB
<i>Metode, Stratak Dan Kalkulasi</i>
Ilustrasi/Net
THE Looser dan media terompet memproduksi fantasi Anies-Sandi menang karena main SARA. Seperti orang kesurupan, mereka fitnah Anies-Sandi dagang ayat dan mayat.

Giliran ditanya mana buktinya, mereka bingung. Mereka kaitkan Pilkada dengan Aksi Bela Islam. "Yang berjilid-jilid," kata mereka.

Faktanya, Aksi Bela Islam ditriger kasus penodaan agama di Pulau Seribu. Pelakunya; Mr. Ahok. It has nothing to do with Pilkada. Amar putusan Majelis Hakim di kasus Ahok (terbukti melanggar Pasal 156A) memperkuat penyataan saya.

Seandainya Basuku-Djrot yang menang, tentu saja tuduhan politik SARA di Pilkada Jakarta tidak akan ada. Kompas tidak akan nulis "terbukti bahwa isu SARA diproduksi dan direproduksi secara terencana dan masif". Gubrakkk...!!!

Selain menurunkan badai sembako, Timses Basuki-Djrot paling sering main SARA. Mulai password "kafir", penodaan Surah Al Maidah 51, politisasi umrohkan marbot, sampai bikin video rasis durasi pendek mendeskreditkan Umat Islam di kerusuhan Mei 98. Bahkan bangun masjid di Daan Mogot dijadikan bahan dagangan kampanye.

Tanggal 1-9 Oktober 2016, Saiful Mujani Research Center (SMRC) melakukan survei. Hasilnya Ahok-Djarot didukung oleh 95,7 pemilih beragama Kristen dan Katolik.

Di Pilpres tahun 2012, Barrack Obama didukung oleh 93 persen black America. Tidak ada yang bilang komunitas Afro Amerika sebagai golongan rasis. Padahal dukungan mereka terhadap Obama lebih disebabkan warna kulit.

Sedangkan komposisi penduduk muslim di Jakarta sekitar 85 persen. Basuki-Djarot sukses mengumpulkan angka 42,04 persen suara. Tetap kalah dua digit.

Merujuk pada data SMRC, artinya ada 27 persen muslim coblos Ahok-Djarot.

Oh ya, pas putaran kedua, tiba-tiba aja ada Warteg Haji Djarot. Padahal sebelumnya, Wagub Djarot tidak pernah tonjolkan dirinya "haji".

Memasuki putaran kedua itu pula, ada letupan gerakan "jangan salatin mayat Ahoker" di beberapa titik.

Anies-Sandi melawan spontanitas seruan itu. Mereka nyatakan akan menyolatkan mayat Ahoker. Gerakan ini langsung lenyap.

Sumber muasal gerakan spontan itu adalah rasa kesal para suami. Oknum Timses Basuki-Djarot ada yang menakut-nakuti para istri di putaran pertama Pilkada.

Mereka bilang KJP bakal hilang bila Ahok-Djarot kalah. Diterangin baik-baik, para ibu tetep ngeyel. Saking takutnya. Padahal KJP adalah program pemda. Bukan pakai duit Ahok-Djarot. Tidak mungkin hilang sekali pun ganti gubernur.

Jadi, para suami marah. Mereka ancam balik. Ancamannya: tolak menyolatkan mayat Ahoker. Ancaman dibalas ancaman.

"Gertakan" tolak salatkan mayat Ahoker benar-benar berhenti setelah Tim Relawan ASA kampanye KJP Plus. Itu bisa bikin hati emak-emak damai.

Dari berbagai kasus di atas, justru Basuki-Djarot adalah pihak yang memainkan kartu SARA.

Ahok-Djarot kalah di Pilkada bukan karena serangan politik SARA. Mereka kalah karena salah kalkulasi, keliru stratak dan blunder di metodologi kampanye. [***]

Penulis adalah aktivis Komunitas Tionghoa Anti Korupsi (KOMTAK)

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA