Tahun 2012 adalah tahun kemenangan Jokowi-Ahok. Artinya, ada transformatif event di Jakarta. Saya kira, pasca tahun 2012 adalah era transformasi internet. Sejak itu, cyber world semakin menyatu dengan manusia. Segala-galanya dilakukan di internet. E-commerce, cari pacar, dating, expresi diri, diskusi, sampai kampanye politik.
Politik dilakukan dalam cyber world. Mahasiswa nggak perlu lagi turun ke jalan. Ngartis ngga usah pake skill, bakat, tampang, cerdas. Yang penting berisik. Berani caci-maki. Nyolong informasi seolah A1. Banyakin follower.
Klaim sampe 3 juta. Itu mutu celeb sosmed. Modal dengkul. No books. No knowledge. Nggak pernah baca or mikir.
Hasil Pemilu diketahui lebih awal. Internet triger bisnis polling. Murni atau pesanan. Cyber world buka lowongan kerja. Jadi buzzer, hoaxer, spin-doctors. Jurnalisme dirusak. Mutunya semata kaki.
In short, segalanya berlangsung di internet. Anggota Dewan punya hobi baru. Cuit-cuitan di twitter. Berisik. Mereka nggak ragu curhat online. Bikin malu. Selain, Bikin fan-page. Sewa staf sebagai admin. Begitu juga dengan walikota, gubernur, menteri, bahkan presiden.
Ada pejabat suka nge-vlog. Selfi-selfi nggak keruan. Dulu, Ridwan Kamil disebut-sebut sebagai Walikota Internet.
Obama dan Trump dicibir sebagai "President Internet". Saya tidak tahu apa sebabnya. Yang pasti, mereka aktif dalam cyber world. Ngetwit dan terlibat twitwar.
Alas, tahun 2012 adalah awal dari "government by the internet". Kepala semua negara, presiden, perdana menteri, para jenderal, menteri kabinet, bankers, dan sebagainya memperhatikan persepsi Social Media. Koran, radio dan televisi jadi old school. Nggak bisa nyaingin cyber world.
Saya kira, bahaya sekali bila seorang presiden terlalu banyak eksis di internet. Apalagi, menggunakan buzzer sebagai advisor sekaligus mesin pencitraan. Popular decision seringkali incorrect. Survei dan polling bisa direkayasa.
Semoga, Indonesia tidak ikut-ikut menerapkan sistem "government by the internet". Seni memimpin adalah puncak dari semua skill. Rakyatnya adalah manusia nyata. Bukan sekedar akun-akun yang sering dipejorasi sebagai "akun cebong". [***]
Penulis adalah aktivis Komunitas Tionghoa Anti Korupsi (KOMTAK)
BERITA TERKAIT: