Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

KPK, Golkar Dan Novanto (7-Habis)

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/zainal-bintang-5'>ZAINAL BINTANG</a>
OLEH: ZAINAL BINTANG
  • Senin, 02 Oktober 2017, 11:59 WIB
<i>KPK, Golkar Dan Novanto (7-Habis)</i>
Setya Novanto/Net
PADA akhirnya, perlawanan SN (Setya Novanto) mencapai sukses. Apapun yang hendak dikatakan orang, yang terang SN menang dalam praperadilan. Adalah menjadi hak asasi setiap orang, termasuk SN untuk membersihkan nama baiknya dan memulihkan kehormatannya.

Dalam konteks pemeriksaan tersangka di KPK selama bertahun-tahun ini, hari Jumat selama ini ditandai publik sebagai Jumat "keramat". Namun oleh SN "kekeramatan" hari Jumat itu disapu bersih. Karena justru pada hari Jumat itulah dia memetik kemenangan yang menggegerkan secara nasional maupun internasional.

Artinya, justru pada hari Jumat itu SN meng-KO-kan KPK.

Pada bagian akhir artikel episode yang lalu (bagian ke 6), saya menulis begini: "Kalau KPK ragu-ragu SN itu bersalah, ya dibebaskan. Jika KPK mencoba bermain api, bukan saja akan meruntuhkan kredibilitas lembaga antirasuah itu sendiri. Akan tetapi juga telah memadamkan semangat bangsa untuk memberantas korupsi tanpa pandang bulu".

Melalui putusan hakim tunggal Cepi Iskandar pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel): mengabulkan gugatan praperadilan Ketua Umum Partai Golkar SN yang juga Ketua DPR RI, pada Jumat 29 September 2017.

Dikabulkannya gugatan SN, otomatis menggugurkan status tersangka yang disematkan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) atas perkara dugaan korupsi pengadaan e-KTP.

Tapi, tidak menggugurkan unsur pidananya, sebagaimana dikatakan oleh komisioner KPK Saut Situmorang, bahwa KPK memiliki 200 bukti pidana keterlibatan SN.

"Tunggu saja. Dia (Novanto) tidak akan bisa lari, 200 lebih bukti," ujar Saut saat menjadi pembicara dalam diskusi Kajian Nalar Hukum Seri I Kanal Hukum Pemuda Lintas Agama 'Darurat Korupsi dan Polemik Pansus KPK' di Pura Aditya Jaya, Rawamangun, Jakarta Timur, Sabtu (30/9).

SN ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada tanggal 17 Juli 2017. Lakon drama hukum campur politik itu, yang menyita perhatian masyarakat luas dan menimbulkan tanda tanya panjang yang melelahkan, terpaksa harus berhenti disini.

Tanda-tanda "kekalahan" tim kuasa hukum KPK sudah terlihat ketika eksepsi mereka ditolak oleh pengadilan. Dalil yang dikemukakan tim kuasa hukum KPK sangat lemah.

Tim kuasa hukum KPK mengajukan eksepsi, bahwa kasus gugatan penetapan SN sebagai tersangka seharusnya di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), bukan di sidang praperadilan.

Hakim Cepi Iskandar juga menolak pemutaran rekaman pemeriksaan KPK di pengadilan. "Menolak eksepsi termohon, menyatakan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan berwenang mengadili perkara ini, memerintahkan kedua belah pihak untuk melanjutkan perkara ini," kata Cepi saat memimpin sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat (22/09).

Sejak ditolak eksepsinya tersebut pihak KPK terlihat sempoyongan. Publik mempertanyakan kapasitas dan kapabilitas anggota tim kuasa hukum KPK. Sementara di pihak lain tim kuasa hukum SN tidak ada nama besar yang biasa malang melintang di media. SN tidak melibatkan Kordinator Bidang Hukum Partai Golkar untuk membelanya dalam praperadilan.

Pergumulan hukum mencari keadilan telah berlangsung sengit dan bertempo tinggi, sejak kasus megakorupsi e-KTP bergulir pada awal 2016. Terlebih setelah SN dicekal dan dinyatakan tersangka pada 17 Juli 2017.

Pada sidang praperadilan bergumul antara SN dengan KPK. Di pengadilan Tiipikor  pergumulan terjadi  antara SN juga dengan KPK. Bayangkan beratnya beban yang dipikul SN atas dua pengadilan kembar tersebut.  Setidaknya ada 108 saksi yang telah diperiksa penyidik KPK demi membuat terang kasus yang menyeret SN.

Jika KPK memainkan kesaksian sejumlah oknum terkait, sebaliknya SN memainkan penyakit  vertigo dan penyakit lainnya. Termasuk katerisasi jantung karena penyempitan.

Pada saat yang sama, di luar itu, Pansus Angket KPK terus bermanuver menggergaji nyali dan mental pejabat KPK. Panggung politik Indonesia mau tidak mau berubah fungsi. Fungsi utama anggota legislatif untuk memperjuangkan kesejahteraan rakyat kecil, untuk sementara ditangguhkan.

Hampir seluruh waktu legislator Senayan sepanjang tahun 2017 diarahkan dan dikerahkan, katanya - untuk memperkuat KPK. Meskipun pada implementasinya yang dirasakan oleh publik sepertinya pelemahan KPK.

Terlepas dari semua gonjang ganjing dunia politik yang berkelindan dengan dunia hukum, yang pasti SN telah memenangkan pertempuran politik itu saat ini.

Pertanyaannya, masihkah konsistensi KPK bisa diharapkan oleh masyarakat untuk memberantas korupsi di negeri ini, yang terlihat aneh. Korupsi itu terlihat aneh, karena semakin diberantas malahan semakin banyak.

Keraguan atas konsistensi KPK muncul dari publik. Betapapun juga, pola pemberantasan korupsi yang dijalankan KPK selama ini - yang sudah lama dipersoalkan kredibilitasnya oleh legislator, - sejujurnya memang  pelan-pelan turut dipertanyakan masyarakat.

Putusan Hakim Cepi Iskandar, - terlepas pro dan kontra, - telah membuat publik ikut ragu dan cemas dengan pola pemberantasan yang dipakai KPK selama ini.

Hal ini semakin mengundang keragu-raguan karena pada saat yang sama, mencuat ke permukaan adanya konflik internal di dalam tubuh penyidik KPK yang terbuka ke ranah publik. Pejabat diinternal KPK sendiri sudah saling menghujat. Saling membuka aib dan saling mempermalukan.

Fragmen pengakuan orang dalam di KPK itu, dimanfaatkan semaksimal mungkin oleh Pansus Angket, yang memang memiliki hak konstitusional untuk melakukan investigasi ke mana-mana yang dianggap inheren dengan konteks kiprah dan kinerja KPK.

Tidak ada yang dapat memastikan seperti apa nanti ujung dari pertempuran politik ini yang sedang menimpa dunia hukum. Akankah KPK tahan banting dan digdaya? Apakah KPK tetap hadir atau tersingkir.

Mencermati putusan hakim Cepi Iskandar, sangat logis jika mencuat pendapat di masyarakat, bahwa keperkasaan dan kedigdayaan KPK -yang di dalam opersionalnya itu berbiaya sangat besar-, ternyata bisa dengan mudah "dipotong" dengan gergaji kecil yang berbiaya murah yang bernama "praperadilan".

Akankah gergaji kecil yang bernama pra peradilan itu, akan menjadi modus para tersangka koruptor untuk memukul balik KPK, dengan kata lain untuk mempermalukan KPK?

Tak bosan-bosannya saya mau mengatakan, bahwa yang sedang belangsung di tengah kagaduhan politik dewasa ini, adalah permainan politik kontemporer yang disebut sebagai "lari berputar".

Hal itu membuat masyarakat bingung karena: Tidak jelas siapa mengejar siapa?   

Sungguh sangat ironis, pelaku koruptor kelas kakap telah menemukan resep ampuh untuk membungkam KPK, yaitu tadi, sejenis praperadilan. Bagaimanapun juga, dengan kemenangan SN itu, mau tidak mau maka wajah KPK jadi terpuruk. Kredibilitasnya di mata publik ikut terguncang.

Sementara itu, di tengah gonjang-ganjing itu, saat ini, sepertinya semua orang sedang lari berkejaran mau menjadi "juara" pada Pemilu 2019 dengan menggunakan semua cara.

Menurut Niccolo Machiavelli, pengarang buku II Principe (The Prince) atau Sang Pangeran (1513):  politik dan moral adalah dua bidang yang tidak memiliki hubungan sama sekali, yang diperhitungkan hanyalah kesuksesan sehingga tidak ada perhatian pada moral di dalam urusan politik. Baginya hanya satu kaidah etika politik: yang baik adalah apa saja yang memperkuat kekuasaan raja.

Dari jauh sayup-sayup terdengar suara serak Machiavelli, yang terkenal dengan kalimat "the end justifies the means": tujuan menghalalkan segala cara. [***]

Penulis adalah wartawan senior dan Anggota Dewan Pakar DPP Partai Golkar

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA