Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

KPK, Golkar, Novanto (5)

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/zainal-bintang-5'>ZAINAL BINTANG</a>
OLEH: ZAINAL BINTANG
  • Kamis, 14 September 2017, 00:28 WIB
KPK, Golkar, Novanto (5)
Setya Novanto
KETIKA berlangsung acara Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi III DPR RI  dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kemarin, Selasa (12/9), banyak yang memperkirakan KPK akan babak belur dan bertekuk lutut. Betapa tidak, KPK yang selama ini menjadi "buronan" Pansus Angket KPK, akhirnya dipaksa datang menghadap kepada "yang terhormat" wakil rakyat itu.

Namun yang mencengangkan publik, hari itu berhias tontonan "sandiwara" politik yang ditayangkan live semua televisi swasta kelas atas. Para legislator menumpahkan uneg suara jiwa bernada sendu, ekses tekanan kiprah KPK yang getol memberantas korupsi tanpa pandang bulu.

Tekanan balik legislator pada acara itu dipusatkan kepada mekanisme pegelolaan barang rampasan. Disusul menyoal latar belakang pendidikan penyidik KPK yang dinilai minus berlatar belakang hukum. Tanpa sungkan legislator itu meminta KPK tidak menyoal kasus hukum kader parpol calon gubernur, bupati dan walikota.

Yang menarik, ada legislator marah karena Tim KPK tidak ada yang menyapa dengan kata "Yang Terhormat". Suasana memanas ketika membahas "Obstruction Justice".

Endingnya, wakil rakyat meminta supaya KPK menghentikan proses peradilan kasus e-KTP sambil menunggu hasil hak uji materi (judicial review) di Mahkamah Konstitusi (MK). Hasilnya sangat dinanti: Memasatikan Pansus Angket KPK sahih adanya atau sebaliknya!

Diakui wakil rakyat itu, di dapil (daerah pemilihan) mereka banyak yang mengadu. Mengeluhkan  langkah KPK yang tidak kenal kompromi. Pada episode ini publik merasa peran legislator seakan mewakili suara hati koruptor.

Namun, pertempuran di ruangan itu memanas ketika mempersoalkan Obstruction Of Justice.  Pasal Obstruction of Justice sendiri tertuang dalam Pasal 21 dan 22 UU Pemberantasan Tindak Pemberantasan Korupsi yang berkaitan dengan upaya merintangi dan menghalangi proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan kasus korupsi.

Sejumlah hal yang disoal oleh anggota DPR pada RDP dengan Komisi III,- mayoritas kasus yang mengandung angkara murka, - memang bisa difahami jika publik waswas bahwa rombongan KPK akan "digoreng" di "kandang macan".

Menghitung tingginya level kemarahan anggota DPR kepada KPK itu, akibat akumulasi persoalan yang kurang menguntungkan citra anggota DPR di mata publik. Maka wajar adanya rasa cemas: KPK akan babak belur.

Banyak alasan mengapa rasa  cemas itu muncul. Soalnya, ada beberapa hal yang tak terhindarkan. Pertama, KPK harus bertandang ke rumah wakil rakyat itu, - yang di dalam konteks konflik KPK versus Pansus, - dianalogikan sebagai "kandang macan".

Kedua, yang "mengadili" KPK adalah anggota Komisi III plus anggota Pansus. Karena yang ada di Komisi III sebagian besar adalah anggota Pansus, bahkan unsur pimpinan. Diperkuat lagi dengan transfer legislator lintas fraksi dengan dalih mewakili teman yang berhalangan.

Yang ketiga, sebelumnya telah terjadi ketegangan antara Pansus dan KPK, gara - gara perbedaan persepsi tentang dasar legitimasi pembentukan Pansus Hak Angket. Kedua lembaga itu  terlibat perang persepsi. Persepsi sama-sama  dibangun mengatasnamakan  kepentingan rakyat.

Yang keempat adanya surat KPK yang ditanda tangani Agus Rahardjo yang menyebut Pansus Angketr KPK itu telah melakukan "Obstruction Of Justice".

Berada di rumah wakil rakyat itu sejatinya melahirkan semburan rasa nyaman, teduh dan kekeluargaan. Tapi, kini semua atmosfir itu pupus pelan-pelan ditelan debu hitam noktah perpolitikan yang makin lama defisit ideologi.

Meminjam istilah pengajar filsafat UI Rocky Gerung, "sejatinya Senayan itu bagi rakyat adalah taman bunga yang asri. Akan tetapi, belakangan Senayan dirasakan seperti "sarang ular".

Siaran langsung RDP itu dalam format "Breaking News" semua televisi swasta berkelas, berhasil menyajikan suatu tontonan penuh kelucuan justru yang dimainkan aktor politik.

Daya tariknya justru terletak kepada kelucuan wakil rakyat itu, padahal sejatinya mereka bukan pelawak. Tapi, anehnya, kandungan kocaknya mengalahkan tontonan Sri Mulat tempoe doeloe dengan aktor handalan Jojon dan Tjahyono.

Forum RDP itu yang seharusnya berisi muatan persoalan bangsa yang mengandung bobot idealisme yang tinggi. Tapi, nyatanya wakil rakyat itu tidak menyoal: mengapa bisa terjadi, kini, penguasaan porsi besar kue ekonomi nasional oleh segelintir taipan tertentu!

Menjadi fakta tak terbantahkan, minoritas konglomerat itu hidup berlimpah kemewahan, di tengah jeritan dan penderitaan rakyat, akibat kemiskinan yang membelit mayoritas penduduk negeri ini. Mayoritas rakyat,  yang mungkin ratusan ribu bahkan jutaan anggota keluarganya telah gugur di medan juang menjadi tumbal perjuangan mencapai Indonesia Merdeka!

Narasi kebangsaan perlahan menepi bersama terpinggirkannya ideologi kerakyatan, yang selama ini menjadi perekat keberagaman bangsa yang plural ini. Bangsa yang bangga dan kokoh memegang teguh Pancasila sebagai filosofi negara.

Tapi rumah rakyat itu, hari itu memang sedikit memprihatinkan. Suara yang vocal terdengar, hanya membahas masalah subjektif wakil rakyat, misalnya meminta kepada KPK untuk tidak memeriksa kader parpol yang sedang bersiap bertarung di gelanggang Pilkada.

Pertanyaannya: Adakah usulan legislator itu, yang demikian encer bobotnya, - tapi tertopang legitimasi powerfull dari Senayan, - mempunyai dampak langsung terhadap kesejahteraan rakyat? Rakyat kecil itu yang mereka wakili. Pemilik suara yang mengantarnya bertahta di Senayan dengan fasilitas yang paripurna.

Porsi semangat pertempuran politik, yang mendominasi suasana kehidupan berbangsa dan bernegara sejak reformasi, perlu ditinjau dan diturunkan sedikit equalizernya. Supaya bobot politiknya yang bersimbah kegaduhan yang dungu tidak terlalu dominan.

Pertempuran politik, belakangan ini seakan-akan telah menjadi ideologi baru yang didominasi semangat menang-menangan dan kuat-kuatan: Zero Sum Game! Dominasi karakter zero sum game amat menonjol, sungguh amat menghawatirkan. Karena yang satu kudu meniadakan yang lain. Ini mirip-mirip praktek genosida kultural.
   
Semangat kebangsaan harus segera dimuliakan. Jangan dibiarkan menjadi korban budaya berpolitik anti kultur seperti seperti musik anti ritme. Risih hati masyarakat menyaksikan sebagian besar elite bangsa ini tersesat di jalan yang terang.
   
Hari ini sebuah media cetak mainstream memasang huruf gajah sebagai HL  berbunyi begini: "KPK-Novanto Adu Siasat".

Mau kemana bangsa ini?

Sayup-sayup bersama angin semilir, terdengar suara lirih sang proklamator Bung Karno: "Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri". [***]

Penulis adalah wartawan senior dan anggota Dewan Pakar Golkar

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA