Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Pendidikan Ugal-ugalan

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/sudarnoto-a-hakim-5'>SUDARNOTO A HAKIM</a>
OLEH: SUDARNOTO A HAKIM
  • Minggu, 10 September 2017, 10:57 WIB
PROF. Dr. Slamet Iman Santoso (alm), salah seorang kampiun pendidikan, beberapa tahun yang silam mengajukan kritik yang cukup keras terhadap kecenderungan atau arah pendidikan kita. Dan ini hemat penulis masih terasa penting untuk direnungkan saat ini.

Dia katakan bahwa pendidikan kita ini sangat fragmentatif dan mengalami apa yang ia sebut sebagai "kompartementalisasi." Apanya yang keliru? Fragmentasi dan kompartementalisasi ini cenderung  melahirkan cara pandang yang fragmentatif,  menyempit dan partikular. Kehidupan pada akhirnya juga bisa fragmentatif,  menyempit, dan terkotak-kotak. Hidup terkotak-kotak itu tentu saja hidup yang terpenjara atau terbelenggu oleh berbagai jenis identitas eksklusif tertutup.

Hal ini terasa sangat kuat antara lain dengan munculnya begitu banyak kelompok asosiasi ilmu yang sangat partikular, spesial dan detail. Sebutlah, misalnya, asosiasi Ilmu Ushuluddin, ilmu Komunikasi atau ilmu-ilmu Sosial, Akuntansi, Farmasi dan lain sebagainya. Asosiasi-asosiasi keilmuan ini menyelenggarakan berbagai aktivitas seperti kolokium, seminar, riset hingga jurnal ilmiyah yang secara spesifik sangat kuat menggambarkan kecenderungan eksklusif komunitas asosiasi ilmu.

Dedikasi dan loyalitas keilmuan digantungkan kepada kelompok atau asosiasi bukan kepada komunitas lain yang jauh lebih besar dan jembar atau universal padahal jebolan universitas yang semestinya tidak menyempit.

Fenomena yang sama juga bisa kita lihat dalam kehidupan keagamaan yang menyempit karena terkotak-kotak dalam pikiran dan ideologi eksklusif Mazhab dan organisasi. Dengan demikian, dalam prakteknya, agama direduksi sedemikian rupa makna dan fungsinya sesuai dengan kebutuhan Madzhab dan organisasi. Makna atau misi universal agama yang dalam A-Quran disebut sebagai rahmatan lil alamin (rahmat bagi alam) dan hudan linnas (petunjuk bagi semua manusia) tidak terwujud.

Begitu menyempitnya kotak kotak keagamaan ini, maka kebenaran yang diterima adalah kebenaran yang sesuai dengan kebutuhan kelompok. Dalam bidang kehidupan sosial politik eksklusifisme juga sangat terasa mewarnai. Karena itu, sepanjang menyangkut grup, organisasi, partai dan mazhab, maka dedikasi dan loyalitas dimaksimalkan.

Inilah "kelompokisme" yang sebetulnya sudah terjadi cukup lama di tempat kita yang salah satunya diakibatkan oleh tradisi pendidikan fragmentatif kompartemental. Pendidikan memang membekali banyak cabang ilmu pengetahuan akan tetapi  tidak dikerangkakan dalam bingkai perspektif integrasi. Karena itu,  sebagai Knowledge Seeker seseorang tidak memiliki gambaran, misalnya, bagaimana menjelaskan hubungan antara agama dan ilmu pengetahuan? Keyakinan terhadap adanya pemisahan antara agama dan ilmu pengetahuan itu masih dianut oleh banyak masyarakat dan bahkan para sarjana sekalipun.

Inilah yang disebut sebagai pandangan dikotomik, yaitu pandangan yang meyakini bahwa agama dan ilmu pengetahuan itu memang tidak mempunyai dan tidak perlu dihubungkan. Agama ada dunianya sendiri dan ilmu pengetahuan juga memiliki dunianya sendiri, tidak perlu dihubungkan atau diintegrasikan.

Orientasi Pragmatik

Uraian di atas menegaskan salah satu problem atau tantangan pendidikan kita yaitu orientasi penyempitan cara pandang sebagai akibat dari pendidikan yang fragmentatif dan dikotomik. Problem atau tantangan lain pendidikan kita ialah orientasi pragmatik sebagaimana yang berkembang dalam tradisi ilmu di Barat.

Memang dalam keyakinan banyak orang, pendidikan itu harus menyediakan perbekalan ilmu dan keterampilan hidup yang pragmatis. Masyarakat jangan dibekali dengan ilmu ilmu yang tidak memberikan manfaat kehidupan yang praktis. Karena itu, mengikuti logika pragmatisme ini, ilmu ekonomi, misalnya, jauh lebih menjanjikan secara finansial dibandingkan dengan ilmu filsafat. Begitu juga kedokteran tentu diyakini jauh sangat menjanjikan secara finansial dibandingkan dengan sastra Arab.

Karena itu, masyarakat cenderung memilih bidang-bidang yang secara pragmatis memang sangat menjanjikan meskipun harus mengeluarkan anggaran yang jauh lebih mahal dibandingkan dengan bidang humaniora.

Gairah masyarakat untuk memilih bidang yang secara finansial menjanjikan ini tak terbendung. Tentu pilihan dan keinginan publik untuk bisa mengembalikan modal finansial pendidikan yang mahal ini dan memperoleh keuntungan finansial sebanyak banyaknya paska pendidikan bisa dimengerti dan tidak mungkin distop. Tidak ada yang keliru.

Yang keliru,  menurut hemat penulis, ialah muncul dan berkembangnya praktek komersialisasi pendidikan sebagai akibat dari pragmatisme. Lembaga pendidikan menjadi sebuah industri di mana ajang bisnis atau jual beli terjadi. Tidak jarang pertimbangan akademik disingkirkan karena baik pengelola (pendidik dan tenaga kependidikan) maupun masyarakat (orang tua, siswa/mahasiswa) memandang bahwa uang adalah alat sakti untuk jual beli. Tidak sedikit sarjana dari S1 hingga S3 yang ternyata sarjana abal-abal. Bahkan kemudian memungkinkan seorang menjadi profesor tapi abal-abal, karena uang.

Kasus UNJ yang baru-baru ini terungkap adalah contoh terang benderang, ceto welo welo bahwa penyakit pragmatisme ini mulai menggerogoti dan akan menghancurkan lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan telah dibajak oleh orang-orang gila: gila status dan pangkat, gila hormat, gila ijazah dan gelar, gila uang. Jangan berharap masyarakat akan tercerdaskan, tercerahkan dan maju kalau lembaga pendidikannya saja dikelola oleh manusia-manusia atau pejabat yang gila.

Harus ada langkah tegas dari pemerintah untuk mengamputasi semua lembaga pendidikan tinggi baik negeri maupun swasta yang mengelolanya tidak bertanggung jawab, ugal-ugalan dan tidak memenuhi syarat. Hukum siapa saja termasuk para pejabat yang memperoleh gelar akademik dengan cara cara yang sama sekali tidak terhormat dan tidak bermartabat.

Orientasi Sekular

Penyakit kronis lain yang menyerang pendidikan kita ialah berkembangnya pandangan sekular yang tidak menempatkan agama sebagai faktor penting. Sesuai dengan falsafah bangsa kita, maka seluruh lembaga pendidikan di Indonesia haruslah membuktikan bahwa sila pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa harus benar-benar hidup dan mewarnai seluruh proses dan kegiatan yang ada. Agama, baik sebagai doktrin maupun values dan knowledge harus dilindungi dan diimplementasikan di lembaga pendidikan. Keyakinan terhadap agama harus diperkuat apapun pilihan agama penganutnya,  pengetahuan agama juga diajarkan secara substansial dan nilai-nilai luhur harus diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Masih banyak lembaga pendidikan kita yang mengabaikan agama sehingga tidak heran jika peserta didik dan bahkan pendidik dan tenaga kependidikpun tidak mengenal agama dengan baik, tidak menghormati nilai-nilai agama dan bahkan tidak sedikit juga yang justru melanggar agama secara terang-terangan. Yang terakhir ini bisa kita ambil dari rekaman berbagai peristiwa tindakan kekerasan secara sendiri-sendiri atau bersama-sama baik yang dilakukan oleh siswa/mahasiswa maupun pendidik dan tenaga kependidikan. Pelanggaran terhadap HAM tidak jarang terjadi di lingkungan lembaga pendidikan; penipuan,  pemalsuan (tanda tangan, nilai, ijazah dan lain lainnya), pungutan liar dan korupsi juga terjadi. Bahkan kriminalitas juga terjadi di tempat yang seharusnya peradaban ilmu dan karakter ditempa dengan sungguh-sungguh. Agama sebagai basis moral atau etik dan sumber keluhuran personal dan kolektif yang sesungguhnya diharapkan tertempa dengan kokoh di lembaga pendidikan justru tidak memperoleh tempat. Artinya,  Pancasila juga tersudutkan.

Ilmu pengetahuan yang diajarkan pun mengikuti logika dan jalan positivisme Barat. Lembaga pendidikan kita menjadi konsumen yang sangat baik terhadap produk ilmu pengetahuan Barat yang dilandasi oleh sekularisme dan materialisme. Ilmu ekonomi, sosiologi, politik dan disiplin ilmu-ilmu sosial bahkan ilmu humaniora kita adopsi dan kita konsumsi dari tradisi dan filsafat Barat.

Seperti yang diurai di bagian terdahulu, tidak ada hubungan antara agama, Tuhan dan ilmu pengetahuan. Ini sungguh kontras berbeda dengan tradisi keilmuan atau tradisi akademik dan intelektual Islam karena menegaskan adanya kaitan kuat antara ilmu pengetahuan, peradaban yang harus dibangun dengan agama dan tentu dengan Allah.

Dan hemat penulis, model seperti inilah yang bersesuaian dengan kebutuhan masyarakat dan bangsa Indonesia yaitu pendidikan yang tidak sekular. Pendidikan sekular bertentangan dengan jiwa Pancasila dan banyak merusak prinsip dasar kebudayaan kita dan bahkan kemanusiaan. Pendidikan sekular termasuk pendidikan yang ugal-ugalan karena daya destruktifnya juga nyata. Stop now... [***]

Penulis adalah Ketua Komisi Pendidikan dan Kaderisasi MUI Pusat

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA