Adapun modus permainannya sekarang semakin halus dan canggih, biasanya dikemas rapi dalam bentuk regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam bentuk Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri serta Keputusan Menteri, dan itu bukan rahasia umum lagi bahwa produk kebijakannya yang dibuat oleh pejabatnya terlihat legal, padahal kalau mau ditelisik dengan teliti tentu bertentangan dengan UU di atasnya, oleh karena itulah menjadi tanggung jawab dan tugas KPK menelisiknya.
Kita masih ingat ketika itu Abraham Samad menyatakan "potensi pendapatan negara bisa mencapai Rp 15 ribu triliun pertahun, terutama dari royalti sektor energi , namun penerimaan tersebut hanya sedikit yang masuk kedalam kas negara akibat adanya korupsi maupun gratifikasi" (22/2/2014).
Sehingga semangat UU Minerba yang salah satu butirnya memuat kewajiban membangun smelter ternyata bertolak belakang dengan produk hukum yang diterbitkan Kementerian ESDM, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Perdagangan. Ini terbukti karena Peraturan Pemerintah (PP) maupun Peraturan Menteri (Permen) justru lebih memudahkan ekspor mineral logam yang belum diolah smelter. Sehingga tujuan utama yakni agar adanya peningkatan nilai tambah di dalam negeri menjadi bias dan melenceng dari pesan UU Minerba.
Di sisi lain, Presiden Jokowi dalam berbagai kesempatan selalu menegaskan bahwa era menjual sumber daya alam sudah saatnya dihentikan. Jokowi mengajak pentingnya mengubah paradigma bahwa sumber daya alam termasuk Minerba harus diolah terlebih dulu guna meningkatkan nilai tambah yang berdampak langsung pada rakyat.
Penegasan Jokowi tersebut juga sejalan dengan data yang dirilis Pusdatin Kementerian ESDM pada 2012, yang menyebut adanya 10,23 kali lipat bauksit bila diolah menjadi alumina. Sedangkan jika alumina diolah menjadi alumunium, maka nilai tambahnya bisa mencapai 139 kali lipat dibandingkan harga jual bijih bauksit. Selain itu, berdasarkan penelitian LPEM Universitas Indonesia tahun 2016 membuktikan bahwa pembangunan smelter di Kalimatan Barat dari 10 pekerja dapat menciptakan kesempatan kerja bagi 19 orang.
Namun faktanya, sikap Presiden berbanding terbalik dengan kebijakan yang dilakukan pembantunya, khususnya di Ditjen Minerba Kementerian ESDM. Maka sangat wajar apabila publik bertanya-tanya, apakah ada kesepakatan gelap di antara oknum DPR dan oknum pemerintah sehingga kebijakan obral ekspor mineral mentah terkesan didiamkan kalangan parlemen?
Padahal, pada rapat dengar pendapat antara Komisi VII DPR dengan Ditjen Minerba, Kementerian ESDM, diketahui kesimpulan rapatnya dengan tegas menyatakan melarang Ditjen Minerba memberikan rekomendasi ekspor konsentrat kepada PT Freeport Indonesia setelah tanggal 12 Januari 2017 dan semua konsentrat harus diolah smelter didalam negeri. DPR bersikeras bahwa relaksasi yang telah diberikan sebelumnya sudah lebih dari cukup.
Namun, dengan diterbitkannya kembali PP Nomor 1/2017 dan Permen ESDM Nomor 5, 6 dan 28/2017, kebijakan obral ekspor mineral logam yang belum diolah di smelter dalam negeri pun kembali memasuki babak baru. Setali tiga uang, Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu ) terkait bea tarif ekspor mineral dari waktu ke waktu sudah mengalami perubahan sebanyak lima kali. Terakhir adalah Permenkeu Nomor 13/PMK.010/2017 tanggal 9 Febuari 2017, yang menghilangkan kewajiban menempatkan jaminan kesungguhan membangun smelter. Padahal dalam aturan sebelumnya, terdapat syarat proses kemajuan pembangunan smelter yang diberi bobot sebagai dasar penentuan tarif bea keluar.
Anehnya, jika bea tarif ekspor ternak saja dikenakan tarif 25 persen, sementara untuk mineral logam yang belum diolah, hanya dikenakan tarif 7,5 persen dan 10 persen. Seharusnya perlakuan tarifnya berbeda, yang lazimnya untuk mineral logam 25 persen dan ternak 10 persen. Bahkan kalau melihat tabel lampiran Permenkeu Nomor 153/2014, untuk mineral seharusnya sudah dikenakan bea tarif 50 persen dan 60 persen sejak tahun 2016.
Semakin aneh bila kita mencermati rekomendasi ekspor mineral yang telah diterbitkan Ditjen Minerba baru baru ini terhadap beberapa perusahaan diduga bermasalah. Antara lain rekomendasi tertanggal 3 Juli 2019 terhadap PT Dinamika Sejahtera Mandiri sebanyak 2,4 juta metric ton (mtn) bijih bauksit dan PT Ceria Nugraha Indotama sebanyak 2,3 juta mtn bijih nikel di bawah kadar Ni 1,7 persen. Pemberian rekomendasi tersebut oleh salah satu pejabat Ditjen Minerba diberikan lantaran kedua perusahaan tersebut berkomitmen membangun smelter dengan masing-masing kapasitas 5 juta dan 7 juta ton per tahunnya.
Pertanyaannya, apa jaminan kedua perusahaan tersebut akan betul-betul membangun smelter? Kalau di kemudian hari, memutuskan batal membangun smelter atas kajian mereka sendiri tetapi sudah terlanjur menikmati hasil keuntungan ekspor mineral, lantas apakah pejabat yang memberikan rekomendasi sudah siap bertanggungjawab secara hukum?
Protes Keras dan Kewenangan KemendagDengan karut-marutnya tata kelola ekspor mineral mentah saat ini, adalah hal wajar apabila Asosiasi Pengusaha Pengolahaan dan Pemurnian Indonesia (AP3I) melakukan protes keras. Pasalnya, di saat sejumlah perusahaan berkomitmen membangun smelter sebagai bukti kepatuhan terhadap UU Minerba, pemerintah justru memberikan rekomendasi ekspor mineral terhadap segelintir perusahaan. Komitmen AP3I yang telah membangun smelter pun akhirnya rontok, dibuktikan dengan adanya pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap ribuan pekerja.
Sehingga sekali lagi patut diduga, pemberian rekomendasi ekspor mineral oleh Ditjen Minerba kepada segelintir perusahaan, merupakan hasil kesepakatan gelap antara oknum pemerintah yang bermufakat jahat dengan oknum DPR. Namun, biarkanlah dugaan tersebut dijawab oleh penegak hukum khususnya KPK yang sudah seharusnya proaktif melakukan penyelidikan.
Sembari menanti gebrakan penegak hukum, pemerintah melalui Ditjen Perdagangan Luar Negeri, Kementerian Perdagangan sesungguhnya juga berperan penting untuk menghentikan rekomendasi ekspor yang diterbitkan Kementerian ESDM. Hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri Perdagangan No 01/M-DAG/ PER/1/2017 tentang Ketentuan Ekspor Produk Pertambangan Hasil Pengolahaan dan Pemurnian.
Dalam Permendag tersebut disebutkan, bahwa izin ekspor akan diberikan kepada pemegang IUP OP dan IUPK OP yang telah dan sedang membangun smelter atau boleh bekerjasama antar pemegang IUP dengan Pemegang Izin Usaha Industri (IUI). Tentu kalimat "telah dan sedang membangun" itu sangat berbeda pemahamannya dengan kalimat "berkomitmen akan membangun smelter". Dengan kata lain, Kementerian Perdagangan mempunyai kewenangan untuk menolak rekomendasi yang telah diterbitkan Kementerian ESDM.
Suatu hal yang harus menjadi catatan dan perhatian pemerintah, bahwa jangan sampai terjadi dikemudian hari negara kita mengimpor mineral mentah untuk kebutuhan smelter yang sudah dibangun disini, bukankah kita pernah mendengar pada sekitar Oktober 2014 Dirut PLN Dahlan Iskan Saat itu berteriak akan mengimpor batubara dari Australia untuk jaminan pasokan semua PLTU-nya setelah lama sulit mendapat kepastian pasokan dari tambang batubara dari dalam negeri.
[***]
Penulis adalah Direktur Eksekutif Center off Energy and Resources Indonesia (CERI)
BERITA TERKAIT: