Bukan soal menggunakan solusi dengan menaikkan kompetensi rekruitmen, melainkan telah terjadi pergeseran tantangan yang musti secepat mungkin direspons secara efektif oleh petinggi negara. Tantangan endemik itu berupa terorisme dan narkoba.
Terorisme bukan berinduk dari agama, atau pun berawal dari perbedaan diantara mazhab yang menimbulkan konflik terbuka. Bukan soal pengembangan konflik terbuka antara Sunni dengan Syiah yang menjauhkan perdamaian. Bukan soal Wahabi dengan Syafii. Bukan soal pemanasan antara membangun Daulah Kholifah dalam tafsir baru yang dipertentangkan dengan kedaulatan NKRI dan Pancasila. Juga bukan dimulai dari akar kesenjangan sosial, atau pun dari kesenjangan pembangunan ekonomi wilayah, melainkan dari pengembangan akan pentingnya pemikiran untuk membangun perseorangan sipil yang berani mati. Bahkan membangun laskar yang berani mati secara efektif untuk kepentingan kamuflase tertentu.
Teritorial yang dibangunnya bukan hanya lokal, melainkan diperluas. Bukanlah dalam bentuk jaringan bawah tanah klandestine, melainkan lebih menyerupai taktik gerilya. Gerilya dari pinggiran ke pusat kota. Gerilya dari pedalaman ke pusat konflik.
The economic hitman bermaksud mengubah kekuasaan bahkan kepemilikan ekonomi setelah pematangan mekanisme pembentukan krisis ekonomi, atau pun krisis multi dimensi. Itu agar terjadi redistribusi asset secara murah. Akan tetapi pengembangan awal terorisme diwaspadai merupakan pengembangan konflik sebagai sarana untuk memperlancar bisnis militer dalam perdagangan senjata. Misalnya memperkeruh hubungan Qatar dengan Saudi Arabia diikuti oleh penambahan armada pesawat tempur modern Qatar oleh Amerika Serikat. Ini merupakan salah satu contoh pengembangan konflik berawal dari isu peningkatan perlindungan pelaku terorisme.
Namun tidak mudah membedakan antara bisnis senjata yang menyertai pertempuran di Suriah dan kesengitan konflik di negara-negara Arab Springs dibandingkan dengan perjuangan kedaulatan negara.
Yang kedua adalah bisnis narkoba. Bisnis yang belakangan meningkat dengan menggunakan perlawanan senjata. Walaupun bukan seperti kartel perdagangan narkoba tingkat dunia, namun pengembangan bisnis narkoba telah dianggap kronis di Indonesia dari megapolitan hingga ke kota-kota kecil. Bahkan pengembangan bisnis narkoba diwaspadai hingga menyentuh perdesaan.
Walaupun bukan dalam bentuk pengembangan perseorangan bahkan pasukan berani mati dalam melakukan kontak senjata terhadap kepolisian, namun sebagai tantangan nyata, maka bisnis narkoba perlu dipandang bukan lagi masuk dalam ranah sipil.
Dengan memperhatikan kepentingan yang lebih besar, kiranya pemerintah perlu menggeser kembali fungsi civilisasi di atas dari perspektif ranah keamanan untuk dikembalikan ke barak dalam ranah pertahanan. Ranah militer, sekalipun kualitas kepentingannya di Indonesia masih dalam tataran milisi.
[***]Penulis adalah peneliti INDEF dan dosen Universitas Mercu Buana
BERITA TERKAIT: