Persekusi, Politik Identitas Dan Akal Sehat

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/aldi-gultom-5'>ALDI GULTOM</a>
OLEH: ALDI GULTOM
  • Senin, 05 Juni 2017, 16:50 WIB
rmol news logo Istilah persekusi begitu hangat dibahas sejumlah kelompok diskusi, baik secara online maupun kopi darat, beberapa hari terakhir.

Minus edukasi akan arti, media massa mencekoki dengan konteks yang seenaknya. Jadilah kata persekusi berpotensi serampangan dipakai. Ia diperbincangkan oleh rakyat jelata, wartawan, mahasiswa, aktivis, pejabat negara, mungkin saja tanpa makna sebenarnya.

Dari diskusi-diskusi tadi, istilah persekusi diidentikkan pengejaran diikuti pembasmian besar-besaran terhadap satu kaum, yang lebih mendekati genosida.

Dalam sejarah kekaisaran Romawi, persekusi dipakai dalam konteks penganiayaan besar terhadap pengikut Yesus Kristus, dimulai pada masa pemerintahan Kaisar Nero. Dalam sejarah modern, ada tindakan Nazi Jerman atas bangsa Yahudi. Di skala lokal, cocok untuk melukiskan pemburuan terhadap warga keturunan Tionghoa di tengah eskalasi kerusuhan 1998.

Apakah berlebihan penggunaan persekusi untuk menggambarkan situasi sosial belakangan ini, itu tergantung di sisi mana kita melihatnya. Dari sisi penonton (pengamat), pelaku atau korban? Maka yang diperlukan adalah pandangan objektif agar tidak memperkeruh kohesi yang sudah rapuh. Lihatlah detail-detail faktanya.

Yang pasti, saat ini di Tanah Air, tidak sedang terjadi penumpasan besar-besaran terhadap umat tertentu oleh kelompok lain di Indonesia. Tidak ada fakta yang bisa membenarkan penggambaran itu. Maka patut dicemaskan, istilah persekusi digunakan untuk semakin melukai kohesi yang sekarat. Memprovokasi fenomena intimidasi dan main hakim sendiri menuju skala lebih besar dan masif. Tentu saja, instabilitas politik-ekonomi-sosial menjadi "konsekuensi logis". Selanjutnya bisa ditebak, campur tangan super power dari luar untuk memulihkan keadaan.  

Boleh dikata, di Pilkada DKI Jakarta-lah semua kerunyaman ini berawal. Arena di mana politik identitas dipakai secara berlebihan dibumbui pengagung-agungan pada sosok-sosok semu.

Mengutip akademisi filsafat yang tersohor, Rocky Gerung, politik identitas dihasilkan oleh proses politik, diproduksi untuk mempertahankan hirarki. Di sana selalu ada referensi tunggal, baik dalam hal moral, kesalehan, dan macam-macam lainnya.

Politik identitas itu menghilangkan kesetaraan yang dibutuhkan dalam tatanan sosial demokratis. Politik identitas itu menghentikan percakapan yang adil dan setara.

Demikianlah akhirnya kekerasan fisik dan verbal menjadi bahasa yang paling sering dipakai. Dalam beberapa kasus yang sudah terjadi, seperti di Jakarta maupun Solok, aksi main hakim sendiri dan intimidasi oleh massa berawal dari suatu tindakan yang dianggap penghinaan, pelecehan, kebencian, terhadap kelompok tertentu atau junjungan dari kelompok tersebut. Pelakunya dan korbannya bisa siapa saja, bahkan remaja tanggung.  

Harus ke manakah orang-orang yang masih berakal sehat meminta pertanggung jawaban atas bahasa kekerasan yang mewabah ini?

Bahkan, negara pun dalam banyak kasus menjadi sponsor utamanya. Haruskah menyalahkan Demokrasi, sistem yang secara sadar menjadi konsensus bangsa?

Sudah saatnya para individu yang independen plus waras melakukan gerilya politik melawan penggunaan politik identitas untuk kepentingan elektoral.

Harus ada kerja-kerja politik yang tujuan utamanya menjaga rasionalitas pemilih, agar tidak terjebak dalam kampanye murahan yang meniadakan dialog akibat mengendepankan politik identitas.

Sebelum terlambat, orang-orang waras wajib bekerja dan bergerilya untuk menjaga tahun-tahun politik di depan mata tidak semakin kelam mencekam. [ald]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA