Para cendekiawan muslim yang baru kembali dari mengikuti pendidikan di Timur Tengah, menawarkan Islam sebagai agama yang memiliki ketentuan baku dan kaku yang konon semata-mata bersumber dari kitab suci Al Qur'an dan Hadist.
Para cendekiawan muslim itu menebar pemahaman mereka dalam berbagai kegiatan ceramah agama di mesjid-mesjid, kelompok-kelompok pengajian, pesantren demi pesantren, hingga menerbitkan buku-buku Islami dalam pandangan yang (menurut mereka) bersumber dari kitab suci Al Qur'an dan Hadist.
Tetapi pada sisi lain, seiring upaya mengubah visi dari pandangan tradisional kepada pandangan baru, muncul gerakan Islam yang membawa paham yang kurang lebih sama radikalnya. Yaitu Islam dengan pengamalan ajarannya yang absolut dan kaku, atau disebut juga sebagai Islam fundamentalis.
Sehingga untuk menegakkan sikap fundamentalis itu - jika perlu - harus dengan menggunakan cara-cara kekerasan yang ekstrim.
Akibatnya, mau tidak mau, pandangan yang absolut dan radikalis itu akhirnya dapat mengerdilkan nilai-nilai Islam itu sendiri. Islam selalu mengajarkan umatnya untuk selalu bersikap egaliter, pluralis dan sangat melarang cara-cara kekerasan.
Jika mendalami lebih jauh proses tumbuh kembangnya paham Islam radikal, sebenarnya sudah terjadi sejak awal kemerdekaan Republik Indonesia. Yaitu ketika dalam rumusan hasil rapat BPPKI (Badan Panitian Persiapan Kemerdekaan Indonesia) diakui dan disepakati bersama bahwa dasar negara Indonesia Merdeka adalah Pancasila.
Keputusan tersebut menimbulkan sikap penolakan dari sekelompok tokoh Islam saat itu yang menghendaki agar dasar negara adalah bersya'riat Islam bagi para pemeluknya.
Demikian pula ketika Presiden Soekarno mengumumkan dekrit pembubaran konstituante pada tanggal 5 Juli 1959 dan kembali kepada prinsip Undang-Undang Dasar 1945. Tetapi kebijaksanaan Presiden Soekarno saat itu, dinilai oleh sekelompok tokoh Islam telah mengabaikan usulan Piagam Jakarta yang menegaskan Islam sebagai agama resmi negara dan syarat menjadi Presiden RI haruslah seorang muslim serta kewajiban melaksanakan syari'at Islam bagi semua pemeluknya.
Kekecewaan para tokoh Islam masa itu semakin bertambah manakala Presiden Soekarno menetapkan rasionalisasi militer. Yakni kelembagaan militer hanya berlaku pada TNI yang diresmikan pembentukannya pada tanggal 5 Oktober 1945.
Bagi warga negara, pejuang atau mantan pejuang, yang akan bergabung bersama TNI haruslah memenuhi sejumlah persyaratan resmi yang telah ditetapkan. Maka sebagai akibat kebijaksanaan rasionalisasi militer itu, sebanyak 300.000 orang milisi Hizbullah di Jawa Barat yang dipimpin SM Kartosuwiryo terpaksa kehilangan eksistensinya, demikian pula pada milisi Hizbullah di daerah-daerah lainnya di Indonesia juga mengalami kekecewaan yang sama. Para anggota milisi yang tidak mampu memenuhi persyaratan resmi itu, walau dikenal berani dan sangat berjasa dalam bertempur melawan penjajah, terpaksa tidak bisa disertakan bergabung bersama TNI.
Puncak kekecewaan itu pun akhirnya mendorong SM Kartosuwiryo menyatakan sikap protes dengan memproklamirkan terbentuknya Darul Islam atau Negara Islam Indonesia (NII) dan Tentara Islam Indonesia (TII) pada bulan Agustus 1949 di Jawa Barat.
Pada saat inilah Islam di Indonesia ditampilkan dalam bentuk pemberontakkan, kekerasan dan peperangan. SM Kartosuwiryo dan para pengikutnya yang masih setia memilih masuk hutan di pegunungan Jawa Barat dan memulai perlawanan bersenjata.
Ternyata langkah SM Kartosuwiryo diikuti oleh Daud Bereuh pemimpin Laskar Hizbullah di Aceh, lalu menyusul Kahar Muzakar pemimpin Laskar Hizbullah di Sulawesi Selatan. Perang saudara pun dimulai.
Jika sebelum ini antara TNI dan Laskar Hizbullah saling membantu dalam menghadapi penjajah, maka kini mereka berhadapan untuk tujuan yang berbeda. Bilamana TNI bertujuan untuk menjaga keutuhan NKRI, Pancasila, UUD 1945 dan Kebhinekaan sebagai kedaulatan penuh bangsa Indonesia, SM Kartosuwiryo Cs justru ingin mengubah NKRI menjadi Negara Islam Indonesia.
Sampai pada tanggal 4 Juni 1962, SM Kartosuwiryo berhasil ditangkap oleh Pasukan Siliwangi. Pemerintah RI saat itu berhasil menewaskan sejumlah pimpinan DI/TII di berbagai daerah dan juga memenjarakan para pengikutnya. Namun ternyata, sisa-sisa gerakan tersebut bagai api dalam sekam.
Pada tahun 1965, seiring terjadinya kemelut politik nasional yang diawali dengan peristiwa G30S PKI, kekuasaan pemerintahan pun beralih. Dari Presiden Soekarno beralih kepada Mayor Jenderal TNI Soeharto yang kemudian dikenal sebagai peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru.
Pada masa peralihan tersebut, para mantan pejuang DI/TII kembali memulai aktivitasnya. Kebangkitan perjuangan itu tidak lagi menggunakan strategi perjuangan bersenjata, bahkan mulai meninggalkan karakter militeristik dan mengabaikan struktur kenegaraan NII.
Mereka membentuk gerakan yang dinamakan: NII Fillah yang bersifat non struktural. Kepemimpinan gerakan tersebut dilaksanakan secara kolegial oleh Kadar Shalihat dan Djadja Sudjadi, dua tokoh mantan petinggi DI/TII.
Mereka didukung oleh tokoh-tokoh mantan DI/TII lainnya seperti Abdullah Munir, Kamaluzaman, Sabur, Danu Muhammad Hasan dan seterusnya.
Mengendus munculnya gerakan NII Fillah itu menumbuhkan inspirasi tersendiri bagi kalangan intelijen Pemerintah Orde Baru yang saat itu sedang gencar-gencarnya membasmi kaum komunis berserta seluruh jaringan organisasinya di Indonesia.
Yaitu dengan memanfaatkan atau mengeksploitasi para mantan DI/TII yang sedang membangun gerakan baru untuk menjadi "alat" pemerintah orde baru membasmi kaum komunis. Maka pendekatan intelijen kepada para mantan DI/TII itu pun dimulai.
[bersambung/***]Penulis adalah pemerhati isu-isu keamanan dan pertahanan. Tinggal di Bandung. Tulisan ini adalah bagian kedua dari empat bagian tulisan.