Negara ini juga tidak lepas dari sejarahnya yang gemar memberangus kebebasan berkumpul dan berpendapat. Ironisnya, selama masa reformasi, tiap tahunnya, selalu ada puluhan tindakan sepihak dari ormas dan aparat negara yang menyokongnya membubarkan kegiatan-kegiatan akademis atau seminar yang mengedepankan daya pikir.
Tidak puas merazia buku, baju, membubarkan seminar, hari ini kita mendengar pemerintah bersepakat untuk membubarkan organisasi Hizbut Tahrir Indonesia.
Benarkah para elite negara ini sedang meneladani penyakit yang sama parahnya dengan tren rasisme, islamophobia, atau anti imigran yang diusung tokoh-tokohnya di Barat? Seperti sulit untuk mempercayai asumsi tersebut.
Pelarangan buku dan ide tentu berlawanan dengan kemajuan zaman. Kalaupun ingin dilakukan, hanya boleh lewat proses peradilan.
Terbaca jelas, permainan waspada komunisme yang melahirkan tindakan-tindakan bodoh anti daya pikir adalah pengalihan isu belaka. Pengalihan ketika elite negara gagal menggelar konsolidasi internal. Gagal menumbuhkan dunia ekonomi yang makin terpuruk. Gagal menekan angka kekerasan di tengah mayarakat. Hanya manuver lari dari masalah, yang dibutuhkan sewaktu-waktu.
Begitu pula yang terendus di balik pembubaran HTI. Terkesan populis, namun membangkitkan banyak luka. Memicu kemarahan kelompok masyarakat tertentu yang sangat sensitif. Bahkan, ada pesan elektronik beredar: untuk menutupi isu BLBI, katanya.
Alasan-alasan pembubaran HTI bisa jadi sedangkal alasan di balik razia terhadap kaos palu arit. Misal, HTI tidak melaksanakan peran positif untuk mengambil bagian dalam proses pembangunan guna mencapai tujuan nasional. Kegiatan HTI terindikasi kuat telah bertentangan dengan tujuan, azas, dan ciri yang berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas.
Dibumbui dengan apologi: keputusan ini diambil bukan berarti Pemerintah anti terhadap ormas Islam, namun semata-mata dalam rangka merawat dan menjaga keutuhan NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945.
Apakah kita pernah mendengar HTI terbukti bersalah dalam aksi-aksi terorisme? Apakah kita pernah membaca berita di mana anggota HTI tertangkap tangan ikut dalam rapat kudeta? Begitu berbahayakah ide khilafah dan HTI sebagai organisasi pengusungnya?
Pembubaran HTI sama saja pemerintah yakin bahwa suatu waktu nanti rakyat Indonesia yang majemuk ini akan termakan ide khilafah dan meninggalkan Pancasila serta UUD 1945. Ya, sama saja merendahkan daya pikir dan rasa mayoritas manusia Indonesia.
Tapi, sebagai manusia intelek, tentu tidak ada guna juga bermarah-marah atas tindakan dangkal kekuasaan. Karena manusia intelek tidak akan percaya bahwa negara dengan segala instrumennya bisa memenjarakan ide.
Jika benar negara galau dengan ideologi-idelogi yang berkelana bebas di tengah ruang demokrasi, adalah wajib bagi para elite negara untuk belajar berdialog atau setidaknya menggunakan cara-cara persuasif lain yang tidak membangkitkan keresahan lebih hebat.
Karena, membubarkan perkumpulan mereka yang menyimpan sebuah ide di relung-relung pemikiran yang tak terjangkau, sama saja mengembangbiakkan ide tersebut dengan lebih hebat lagi.
Lebih hina lagi, bila benar segala tindakan represif terhadap gagasan itu hanya untuk menutupi kegagalan pemerintah. Tidak ada alibi apapun yang dapat membenarkan tindakan semacam itu.
Setelah komunisme, kini HTI. Tindakan salah kaprah main razia, main tangkap, main bubarkan, harus dikoreksi. Ide tidak bisa dirazia, dipenjarakan, atau dibubarkan. Membubarkan organisasi, bukan membubarkan gagasan.
[ald]