Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Kemenangan Anies Baswedan, Kebangkitan Islam Radikal?

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/teguh-santosa-1'>TEGUH SANTOSA</a>
LAPORAN: TEGUH SANTOSA
  • Selasa, 02 Mei 2017, 16:07 WIB
Kemenangan Anies Baswedan, Kebangkitan Islam Radikal?
rmol news logo Kemenangan Anies Baswedan, sekaligus kekalahan petahana Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, dalam laga pilkada DKI Jakarta yang baru lalu menyisakan pertanyaan: apakah kemenangan Anies itu merupakan tanda-tanda kebangkitan Islam radikal di Indonesia?

Juga, apakah tokoh Fron Pembela Islam (FPI), Rizieq Shihab, memiliki peluang untuk menduduki jabatan penting di negara ini?

Pengamat politik Fachry Ali menyampaikan hal itu dalam kesempatan seminar dan bedah buku Insight, Essays on Islam and Public Affairs karya Prof. Dr. Bahtiar Effendy, di UIN Syarif Hidayatullah, Ciputat, Selasa (2/5). Selain Fachry Ali, pembedah lainnya adalah pendiri Freedom Institute Rizal Mallarangeng dan pengamat politik dari LIPI Dewi Fortuna Anwar. Bedah buku dipandu DR. Ali Munhanif dari FISIP UIN Syarif Hidayatullah.

Menurut Fachry Ali, tidak bisa dipungkiri ada kesan bahwa kemenangan Anies menjadi mungkin karena memanfaatkan sentimen Islam yang secara sederhana tidak bisa menerima pemimpin dari kalangan non-Islam.

Fachry Ali menjelaskan, peningkatan popularitas FPI dan pemimpinnya, Rizeq Shihab, terjadi karena peran kelompok atau ormas Islam moderat seperti NU dan Muhammadiyah, menurun cukup signifikan.

Selain itu, juga dipicu oleh kesalahan pemerintah dalam merespon berbagai aspirasi masyarakat.

“Penanganan berbagai aspirasi yang berkembang di tengah masyarakat dilakukan dengan cara konvensional, dengan mengerahkan aparat keamanan, dengan bermain pada sisi disinformasi, yang kian lama justru membuat soliditas dan memekarkan dukungan pada so called opotition leader.

Dia mencontohkan pengalaman Abdurrahman Wahid alias Gus Dur dalam Muktamar NU di Cipasung tahun 1994. Di arena Muktamar 1994 itu berbagai isu negatif digunakan untuk menyerang Gus Dur. Dia disebut tidak shalat, juga dipersoalkan karena berkunjung ke Israel.

“Massa Nahdliyin tidak bisa menerima itu (isu untuk menyerang Gus Dur) karena dia darah biru NU,” sambungnya.

Jadi, masih kata Fachry lagi, semakin negara salah dalam merespon aspirasi masyarakat, maka akan semakin besar pengaruh Rizieq dan ormas Islam moderat yang sudah lebih dahulu mapan akan semakin kehilangan legitimasi .

Sementara Rizal Mallarangeng mengatakan, dalam kinerja demokrasi liberal dikotomi Islam dan non-Islam tidak dikenal. Karena pada akhirnya yang dihitung dalam pemilihan umum adalah jumlah pemilih, bukan kualitas isu.

Jumlah pemilih “partai Islam” di Indonesia dari pemilu 1955, dan pemilu-pemilu di era Reformasi tidak berbeda siginifikan. Di tahun 1955, “partai Islam” dipilih oleh 48 persen pemilih, dan di pemilu-pemilu di era Reformasi dipilih oleh 35 hingga 38 persen pemilih.

Sementara dari sisi isu yang digunakan “partai islam” tidak ada yang memperlihatkan semangat keislaman yang signifikan.

“Isunya cair,” ujar Rizal Mallarangeng.

Menurut hematnya, ini adalah hasil kompromi yang manis ala Indonesia.

Namun demikian, Rizal Mallarangeng tetap bertanya, apa yang terjadi dengan bangsa Indonesia sehingga yang muncul sebagai pemimpin gerakan di kalangan umat Muslim belakangan ini adalah Rizieq Shibab. Bukan pemimpin-pemimpin umat Islam dari Muhammadiyah atau NU, atau organisasi Muslim lain yang sudah lebih dahulu mapan dan memiliki struktur organisasi lebih baik.

Dia juga mempertanyakan peran media sosial yang menurutnya memberikan ruang sangat signifikan kepada semua pihak, termasuk kaum ekstremis.

Politik Islam: Substansi Versus Formalitas

Pengamat politik dari LIPI Dewi Fortuna Anwar menjelaskan bahwa di dalam buku kumpulan esai itu Bahtiar Effendy lebih banyak menyoroti soal perkembangan demokrasi, dalam hal ini bagaimana caranya Indonesia bergerak menuju demokrasi yang substansial dan meninggalkan demokrasi yang sekadar legal formal.

Dia menangkap semacam ambivalensi dalam pemikiran Bahtiar Effendy terkait relasi antara Islam dan demokrasi. Di satu sisi, sebutnya, Bahtiar lebih mementingkan Islam yang substansial dan memandang nilai-nilai keislaman perlu dikembangkan dalam ruang demokrasi. Tetapi di sisi lain, Bahtiar terlihat gelisah melihat fenomena dukungan terhadap partai Islam mengalami penurunan.

Menurut hemat Dewi Fortuna Anwar, bila sungguh-sungguh lebih mementingkan Islam yang substansial, Bahtiar tidak perlu terlalu risau dengan pelemahan partai politik yang menggunakan simbol-simbol Islam.

Dewi Fortuna Anwar juga menggarisbawahi tiga persoalan yang menjadi fokus utama Bahtiar di dalam bukunya.

Persoalan pertama mengenai perdebatan antara sistem presidensial dan sistem multi partai yang dinilai Bahtiar tidak konsisten dan menghasilkan semacam kuasi parlementer yang pada gilirannya bisa membuat pemerintah (eksekutif) tidak dapat berbuat banyak karena dihadang legislatif.

Tetapi, dikatakan oleh Dewi Fortuna Anwar, fakta memperlihatkan bahwa pemerintahan SBY yang lahir dari kombinasi antara presidensial dan multi partai berakhir dengan baik setelah berkuasa selama 10 tahun. Demikian juga pemerintahan Joko Widodo sejauh ini.

Ini terjadi, menurut Dewi Fortuna Anwar, karena sistem multi partai di Indonesia membuka peluang kompromi bagi partai manapun, termasuk yang ketika pemilihan presiden berseberangan dengan presiden terpilih.

Juga dikatakan oleh Dewi Fortuna, bila setelah Orde Baru jatuh, yang digunakan adalah sistem distrik maka sangat besar kemungkinan Partai Golkar dengan mudah memenangkan pemilu. Karena faktanya hingga saat itu hanya Partai Golkar yang memiliki daya cengkram hingga ke daerah tingkat dua. Jadi, sistem multi partai yang digunakan setelah kejatuhan Orde Baru memberi kesempatan terbentuknya landscape politik baru.

Hal kedua yang diperhatikan dengan sangat serius oleh Bahtiar, menurut Dewi Fortuna, adalah perdebatan antara konsep negara kesatuan dan otonomi luas. Lalu hal terakhir adalah posisi Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang terlihat janggal karena tidak memiliki hak selayaknya institusi legislatif.

Pada bagian akhir ulasannya, Dewi Fortuna Anwar, berpesan agar dinamika demokrasi Indonesia tidak dimanfaatkkan oleh penunggang gelap, yakni kelompok-kelompok anti-demokrasi.

“Demokrasi adalah pelembagaan konflik yang intinya adalah kompromi dalam mencapai tujuan bersama. Kalau soal perbedaan, Indonesia sudah berbeda dan itu given atau keniscayaan,” demikian Dewi Fortuna Anwar.

Adapun DR. Ali Munhanif saat membuka bedah buku mengatakan bahwa tema yang sedang dibahas tidak tepat waktu sekaligus tepat waktu.

Disebut tidak tepat waktu, karena relasi antara Islam dan demokrasi sudah terlalu sering dibicarakan. Sementara disebut tepat waktu karena Indonesia baru menyelesaikan kompetisi politik di Jakarta yang melibatkan sentimen agama.

“Ada implikasi yang harus kita hitung baik-baik dari fenomena di Jakarta, barusan,” ujarnya. [guh]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA