Cerita Prof. Ryaas Rasyid Pernah Hendak Disuap Hingga Ditempeleng Kolonel

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/'></a>
LAPORAN:
  • Kamis, 09 Maret 2017, 20:41 WIB
Cerita Prof. Ryaas Rasyid Pernah Hendak Disuap Hingga Ditempeleng Kolonel
rmol news logo Tokoh otonomi daerah dan Prof. Ryaas Rasyid merupakan penggagas desentralisasi usai Orde Baru tumbang. Menteri Otonomi Daerah era Pemerintahan Abdurrahman Wahid ini sedikit bercerita tentang perjalanannya memperjuangkan UU 22/1999 tentang otonomi daerah di Jaya Suprana School and Arts Performance, Jakarta, Kamis, (9/3).

Ryaas bercerita, dulu sebelum era otonomi daerah, seluruh urusan publik terpusat pada pemerintah pusat. Mulai dari pembangunan gedung SD lewat Inpres hingga menentukan kepala daerah dihandle oleh pemerintah pusat.

Akibatnya, pemerintah daerah hanya sebagai pesuruh pemerintah pusat dan tidak memiliki wewenang apapun. Salah satu yang masih direkam jelas oleh Ryaas adalah menentukan nama kepala-kepala daerah.

Pada saat ia masih menjabat Dirjen, ia ikut dan berwenang menentukan nama-nama calon bupati. Pemerintah Pusat disodorkan 5 nama calon Bupati suatu daerah oleh DPRD. Kemudian harus dicoret dua nama sebelum kemudian dikembalikan ke DPRD.

Proses coret mencoret nama calon bupati ini biasanya menggunakan kekuatan uang. Ia beberapa kali didatangi oleh para calon-calon bupati, hendak disogok dengan uang berkoper-koper.

"Negosiasinya biasanya di hotel. Orang-orang datang bawa uang berkoper-koper," kata doktor jebolan Universitas Hawaii, Amerika Serikat ini.

Namun ia mengaku takut untuk menerima uang sogokan. Karena itu dia tak pernah menerima uang dari para calon kepala daerah di masa itu.

"Saya takut, padahal zaman itu belum ada KPK. Ada pernah datang ke kantor saya bawa uang, konon katanya 500 juta di zaman itu. Saya tolak, saya suruh pulang," kata Ryaas.

Ia mengaku sudah sejak lama merawat integritas dan kejujuran. Seperti di kala ia masih menjabat Kepala Dinas Perpajakan Makassar. Pada saat itu, ia pernah menghentikan pertunjukkan salah satu bioskop setempat karena menunggak pajak. Ternyata bioskop itu milik salah seorang berpangkat Kolonel TNI. Ia pun dipanggil oleh sang kolonel dan menakut-takutinya dengan menjual nama Walikota Makassar.

Ryaas kala itu kekeuh dan menantang si Kolonel agar tetap membayar tunggakan pajaknya.

"Saya mau ditampar sama Kolonel itu. Tapi saya pasang badan. Saya bilang, kalau Bapak tampar saya, saya tidak akan keluar dari sini, berkelahi kita sekalian," tutur Ryaas.

Walhasil, sang Kolonel itu pun menyerah dan akhirnya mengeluarkan sebuah cek senilah 600 ribu untuk membayar tunggakan pajak.

"Saya masih punya harga diri tak pernah menerima sesuatu apalagi memeras orang. Alhamdulillah, saya tenang-tenang saja. Ada polisi lewat depan rumah saya, ya saya tenang-tenang aja," pungkasnya. [zul]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA