Sri Mulyani Bicara Kartel, Kita Teringat Ide Revolusioner Rizal Ramli

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/aldi-gultom-1'>ALDI GULTOM</a>
LAPORAN: ALDI GULTOM
  • Kamis, 02 Maret 2017, 18:59 WIB
Sri Mulyani Bicara Kartel, Kita Teringat Ide Revolusioner Rizal Ramli
Rizal Ramli/net
rmol news logo Langkah Kementerian Keuangan menggandeng Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk mengejar para importir yang diduga melakukan praktik kartel dan penghindaran pajak, diragukan bakal mampu menuntaskan persoalan sebenarnya.

Arahan Presiden Joko Widodo untuk menekan praktik kotor itu sebenarnya sudah termaktub dalam program Nawacita, yang terkait swasembada pangan nasional. Jokowi sangat memahami bahwa kartel adalah salah satu sumber kerugian negara dan menjadi penyebab lonjakan harga yang tidak terkendali.

Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, menerjemahkan arahan itu sebagai perintah membangun kerjasama antar lembaga, yaitu Kementerian Perdagangan, Komisi Pengawas Persaingan Usaha, dan kementerian yang dipimpinnya sendiri melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

Usai menghadiri penandatanganan kerja sama dengan KPPU di kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, hari ini (Kamis, 2/3), Sri Mulyani melontarkan lagi hal yang bukan rahasia, bahwa para kartel terus berusaha menguasai pasar. Dari hitung-hitungan pihaknya atas kenaikan volume impor daging, Sri Mulyani mengungkap ada 12 importir daging ayam dan 32 daging sapi yang melakukan praktik kartel.

Di sisi lain, Menteri Perdagangan, Enggartiasto Lukita, menegaskan bahwa pengendalian harga daging beku di pasaran sudah membaik, maksimal Rp 80 ribu per kilogram (kg). Pemerintah pun menambah persyaratan impor untuk mencegah praktik kartel, yakni importir harus sudah membayar lunas pajak dan bea masuk sesuai ketetapan. Tujuannya, membatasi keuntungan para pengusaha. Jika syarat tidak dipenuhi maka pengusaha dilarang impor.

Berbicara mengenai pemberantasan praktik kartel, masih segar dalam ingatan publik tentang ide dari tokoh ekonomi senior, Rizal Ramli, kala masih menjabat Menteri Koordinator (Menko) Kemaritiman dan Sumber Daya.

Tanpa basa-basi, Rizal mengecam sistem kuota dalam impor pangan. Menurut Rizal, sistem kuota-lah yang menjadi sumber harga pangan tinggi meski volume impor terus bertambah.

Walau terkesan melindungi produsen kecil dalam negeri, tetapi Rizal menyebut praktik kuota di hampir semua komoditas hanya diisi segelintir pemain. Data itu ia ketahui dari catatan KPPU sendiri. Bahkan, banyak di antara perusahaan importir daging sapi yang terdaftar adalah perusahaan "bohongan" untuk menunjukkan seolah impor daging diisi banyak pemain.

Itulah yang membuat Rizal mengusulkan agar sistem kuota diganti dengan sistem tarif. Ia tegaskan, sistem itu sudah kuno dan malah menyuburkan "mafia pangan".

Di awal 2016 silam, ide Rizal mendapat sanjungan dari Menteri Perdagangan, Thomas Lembong, yang setelah reshuffle kedua ditunjuk sebagai Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Indonesia.

Bahkan, Thomas menyebut ide Rizal Ramli sebagai konsep revolusioner yang bisa merrombak total tata perizinan impor di sektor pangan.

Lembong juga mengaku, penggunaan sistem kuota yang resmi maupun tak resmi hanya menimbulkan banyak masalah yang mengakibatkan instabilitas harga pangan. Sedangkan sistem tarif membuat pasar menjadi lebih bebas dan terbuka, sehingga harga bisa didorong turun. Sistem tarif dapat menjadi alternatif solusi dalam perjuangan pemerintah mengatasi masalah harga pangan di Indonesia.

Bagaimana kelanjutan kisah perjalanan kaum kartel di Indonesia bukan hanya tergantung pada niat dan arahan presiden, tetapi juga inovasi dan kreativitas si pengelola kebijakan itu sendiri. [ald]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA