Bahkan belakangan Mendagri meminta tasfir hukum ke MA. Semakin runyam lagi, ketika Jaksa Agung menegaskan pemberhentian Ahok menunggu vonis hakim.
Pemerintah semestinya memahami konstruksi hukum Pasal 83 (1) UU Pemda terkait pemberhentian sementara. Janganlah melakukan tafsir dalam perspektif politis. Kami kuatir budaya hukum Pemerintah kedepan akan mewariskan pengelolaan negara tidak lagi berdasar atas hukum, melainkan kuasa politik semata.
Betapa jelas, terdakwa Ahok dihadapkan dakwaan primer Pasal 156 a KUHP dengan alternatif Pasal 156 dakwaan subsider. Pada surat dakwaan JPU, Pasal 156 a yang jadi primernya. Ini delik formil. Artinya perbuatan menjadi kejahatan tidak berangkat dari akibat. Tidak perlu motif. Ancaman hukumannya 5 tahun.
Dalam perspektif ilmu pidana ancaman tertinggi jelas dakwaan primer. Kesimpulannya Pasal 156a itu dakwaan primer dengan ancaman lima tahun. Maka dari segi ancaman sudah tepat jika dikorelasikan dengan perintah pemberhentian yang termaktub dalam Pasal 83 (1) UU Pemda.
Lantas mengapa pernyataan Mendagri dan Jaksa Agung, tindakan untuk berhentikan Ahok menunggu tuntutan jaksa atau vonis hakim. Tidak ada satupun kalimat dalam Pasal 83 (1) yang mengatakan bergantung pada "tuntutan dan vonis" seperti dalih Pemerintah. Yang benar sepanjang didakwa dengan ancaman lima tahun.
Tafsir akrobatik Pemerintah justru membentuk budaya hukum politis, tidak berpihak pada kepentingan publik. Yaitu tidak lagi memahami proses hukum Ahok demi pemenuhan rasa keadilan penegakan hukum pidana Pasal 156a KUHP.
Pemerintah memiliki tanggungjawab konstitusional untuk memberikan dan menjamin rasa keadilan publik. Budaya hukum Pemerintah seharusnya berpijak pada kepentingan tersebut. Bukan lagi secara terus-menerus membuat kebisingan sosial bahkan saat ini sudah masuk pada situasi ketidakpercayaan publik.
Indikatornya sederhana, mengapa semua harus dilalui dengan upaya demonstrasi agar proses hukum melek keadilan. Proses hukum sejatinya tak perlu diperlakukan seperti itu. Kedaulatan hukum jangan dihambat oleh budaya hukum yang politis.
Jika Pemerintah ingin menepis anggapan jika budaya hukum tidak politis, maka, tegakkan Pasal 83 (1) UU Pemda dengan memberhentikan Ahok sementara. Karena Pasal 83 (1) itu sifatnya imperatif bukan fakultatif.
Lihat maksud obyektif Pasal 83 (1) tanpa perlu terbebani dengan maksud subyektif dari pasal tersebut. Segera memberhentikan Ahok dari Jabatannya. Jika sebaliknya, maka budaya hukum Pemerintah jauh dari kata memiliki reputasi keadilan. Atas dasar itu, Mendagri tak perlu meminta tafsir ke MA, apalagi menunggu tuntutan JPU dan vonis hakim. Karena upaya itu tidak sama sekali dipersyaratkan Pasal 83 (1).
Budaya hukum pemerintah harus pula menegakkan kedaulatan hukum dan memperhatikan prinsip obyektivitas serta tidak berpihak. Tidak perlu pula Pemerintah lakukan tafsir akrobatik atas Pasal 83 (1). Berhentikan Ahok demi tegakkan perintah UU.
Sebaiknya Pasal 83 ayat (1) dibaca dengan memahami dan mencari ide dasar/nilai yang hendak ditegakkan. Pasal 83 ayat (1) itu orientasinya pada orang/kepala daerah yang perbuatannya tercela.
Disini yang hendak dikatakan, bahwa makna obyektif Pasal 83 ayat (1) UU Pemda adalah orientasinya pada orang/kepala daerah yang perbuatannya tercela (lihat frasa Pasal 83 (1) awal kalimat 'kepala daerah' dan seterusnya ada frasa 'didakwa') dan kemudian kaitkan pada Pasal 78 ayat (2) huruf f).
Maka, jika dilihat dari keadilan subtantif/material berpijak pada ide dasar/nilai makna objektif Pasal 83 ayat (1), berhenti pada pengertian jika Kepala Daerah didakwa lakukan perbuatan tercela sudah dapat dipahami pada kondisi obyektif untuk diberhentikan sementara. Sifatnya imperatif tidak fakultatif.
Pengertian tersebut tidak sama sekali bergantung secara mutlak dengan makna subyektif Pasal 83 (1) yang membebani makna perbuatan tercela pada jenis perbuatan pidana serta lamanya ancaman pidana. Makna subyektif ini sangatlah bernuansa keadilan prosedural/formal.
Pada posisi yang demikian, Pemerintah bukan memilih, tetapi memastikan tegakkan Pasal 83 (1) secara imperatif. Bila sebaliknya Pemerintah sedang menjalankan budaya hukum politis.
Atas nama keadilan dan UU, Pemerintah memberhentikan Ahok secara hukum sifatnya imperatif bukan fakultatif. [***]
FaisalKetua PP Pemuda Muhammadiyah Bidang Hukum
BERITA TERKAIT: