Setara: Bupati Bantul Harus Berani Jadi Role Model

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/'></a>
LAPORAN:
  • Rabu, 11 Januari 2017, 14:17 WIB
Setara: Bupati Bantul Harus Berani Jadi Role Model
Hendardi/net
rmol news logo Sikap tunduk Bupati Bantul, Suharsono, terhadap desakan massa yang menuntut penggantian camat baru karena alasan agama, hanya akan menjadi preseden politik yang buruk dan mencoreng citra Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Hal itu akan memberi legitimasi bagi kelompok-kelompok di Yogyakarta dan daerah lain di Indonesia untuk memaksakan kehendak, menentukan kepemimpinan dalam ruang-ruang publik berdasar pertimbangan latar belakang primordial serta kepentingan politik sempit dan jangka pendek.

"Itu bakal jadi kemunduran serius bagi kemasyarakatan dan kebangsaan kita sebagai warga negara Indonesia yang Pancasilais dan bhinneka, di mana negara seharusnya adalah 'negara semua untuk semua'," ujar Ketua Setara Institute, Hendardi, dalam keterangan persnya (Rabu, 11/1).    

Untuk mencegah situasi negatif tersebut, Setara Institute mendesak Bupati Bantul, Suharsono, untuk mengambil sikap keindonesiaan sebagai penyelenggara negara di tingkat lokal. Dengan penolakan terhadap Camat Yulius Suharta oleh sekelompok orang dan segelintir politisi parpol, Bupati harus berani menjadi role model sebagai pemimpin tegas dan berani menegakkan marwah keindonesiaan di tingkat lokal.

Untuk turut menciptakan situasi kondusif, Setara Institute menuntut beberapa stakeholders untuk mengambil sikap dan tindakan. Pertama, Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia harus mengingatkan Bupati Suharsono untuk mengambil sikap dengan setia pada Indonesia dan melaksanakan tugas sebagai Bupati berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, sesuai dengan sumpah jabatannya.

Kedua, Gubernur Yogyakarta sebagai "atasan administratif langsung" Bupati Bantul dan sebagai pemimpin politik dan budaya di Yogyakarta, hendaknya memberikan arahan dan desakan kepada Bupati Suharsono agar meneguhkan keindonesian dan ikut menguatkan nilai dan imperatif Yogyakarta sebagai daerah yang istimewa, toleran, terdidik, berbudaya, dan miniatur Indonesia.

Ketiga, para politisi hendaknya mengedepankan kenegarawanan (statesmanship), politik kebangsaan, dan kepentingan bersama masyarakat Indonesia sebagai bangsa dengan menanggalkan kepentingan politik sempit dan jangka pendek, serta meninggalkan politisasi identitas keagamaan yang belakangan cenderung menguat.

Keempat, masyarakat sipil di Yogyakarta hendaknya tidak menjadi silent majority dengan cara mengambil sikap membangun keindonesiaan di DI Yogyakarta secara lebih otentik, dan melestarikan peran-peran historis serta kiprah aktual DI Yogyakarta bagi Indonesia. [ald]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA