Akibatnya muncul pro kontra di ruang publik dalam menyikapinya. Untuk yang pro telah menjastifikasi bahwa kebijakan ini akan mengikis habis praktek busuk
mark-up antara SKK Migas dengan KKKS. Sementara yang kontra telah mensitgma kebijakan sangat liberal dan negara tidak berdaulat serta nyata melanggar pasal 33 UUD 1945. Padahal semua sepakat bahwa sejak UU Migas lahir tahun 2001 itulah awal mulanya liberalisasi sektor migas nasional.
Faktanya hari ini kita semakin terpuruknya
lifting minyak mentah nasional dengan hanya produksinya sekitar 820.000 barel per hari ( BPH ) dan gas sebesar 1.115 barel setara minyak per hari ( BSMPH). Ini berbanding terbalik terhadap laju peningkatan konsumsi BBM nasional setiap tahunnya dan saat ini sudah mencapai sekitar 1.6 juta barel per hari, tentu defisit minyak mentah nasional harus dicari solusinya dengan meningkatkan aktifitas sektor hulu yang sedang lesu di saat harga minyak dunia sudah dua tahun terakhir ini rata rata disekitar 50 dolar As per barrel, sementara dulunya berada di sekitar harga 100 dolar AS per barel.
Walaupun ada tanda harga minyak akan naik lagi di tahun 2017 di saat baru-baru ini seluruh anggota OPEC dan non-OPEC sepakat menurunkan kuota produksinya. Hal tersebut dapat dilihat pada tanggal 16 Desember 2016 Pertamina telah menaikan harga BBM umumnya (pertamax, pertalite dan dexlite ) dan akan berencana menaikan BBM tertentu (Premium Ron 88 dan solar) pada awal januari 2017.
Adapun latar belakang awal gagasan skema
gross split sehingga menjadi menarik ditelesuri awalnya hanya merevisi PP 79 agar menjadi menarik investor mau melakukan eksplorasi daerah sulit dan mengandung resiko tinggi kegagalannya agar diperoleh cadangan migas baru. Karena selama ini rasio penemuan cadangan baru dengan tingkat produksinya berada disekitar angka 50 (Reserve Replacement Ratio/ RRR ) sudah mengancam ketahanan energi nasional.
Seharusnya rasio yang ideal dan bagus itu adalah angka di atas 100. Selain itu telah terjadi penurunan penerimaan negara bukan pajak (PNBP ) yang drastis dari sektor migas terhadap penerimaan APBN sejak tahun 2015 dan 2016 yang disebabkan turunnya harga minyak dunia dimulai sejak akhir thn 2014. Maka kalau kita melihat kontribusi PNBP sektor migas terhadap APBN 2014 masih di angka 19 persen, maka di tahun 2015 menjadi 7 persen dan 2016 turun jadi 6 persen dari target APBN sebesar Rp 1.784 triliun.
Bahkan Kepala SKK Migas Amin Sunaryadi pada tagal 6 januari 2016 telah merilis penerimaan negara bukan pajak telah tekor sebesar 1, 04 miliar dolar AS atau sekitar Rp 14 triliun. Artinya telah terjadi lebih besar pengeluaran pergantian biaya operasi /
cost recovery sebesar 13 , 9 miliar dolar AS daripada penerimaan negara bukan pajak (PNBP) hanya 12,68 miliar dolar AS. Ironis memang dan ini terjadi pertama dalam sejarah pengelolaan migas kita.
Kemudian yang lebih mengejutkan publik ketika BPK RI pada 14 April merilis temuan dugaan
mark-up cost recovery dilakukan oleh 7 Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) yang berpotensi merugikan negara sebesar Rp 4 triliun. BVahkan saya menduga nilai temuan bisa lebih besar dari temuan BPK tersebut. Faktanya banyak kasus korupsi yang sudah terungkap seperti kasus bekas Direktur Pertamina SA dalam kasus TEL, Dirut PLN EW, Kepala SKK Migas RR sudah jadi terpidana dan RP tersangka dalam kasus kondensat TPPI dan bekas Menteri ESDM JW, Sekjennya WK dan Dirjen LPE JP sudah jadi terpidana. Dan bahkan banyak sekali pejabat migas lain menyandang status yang sama.
Kita menolak lupa bahwa paska diberlakukan UU 8/1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gasbumi Nasional , sekitar tahun 1975 Pertamina terancam kolaps di masa Dirutnya Ibnu Soetowo.
Sehingga hal inilah membuat Sri Mulyani gundah gulana alias sedikit prustasi atas ancaman pengurangan penerimaan negara dari sektor migas. Sudah tentu kalau dicari penyebab utamanya, sudah tentu adalah dugaan praktek
mark-up dari kongkalikong antara oknum-oknum pejabat sektor migas dengan KKKS dan elit-elit politik serta oknum aparat. Maka munculah pernyataan mengejutkan dari Menteri Sri Mulyani pada 12 November 2016 telah meminta KPK harus serius menelisik kasus-kasus korupsi di Kementerian Keuangan dan sektor energi (ESDM, SKK Migas, Pertamina, PLN dan PGN ) maka 50 persen persoalan negara ini beres.
Kalau dicermati bahasanya sebetulnya sangat menamparkan keras semua pejabat di negeri ini. Khususnya aparat penegak hukum yaitu KPK, Kejaksaan Agung dan Kepolisian bahwa dulu sudah banyak pintu masuk meyidiknya secara tuntas pada saat terjadi OTT di sektor migas tetapi kenapa hal tersebut tidak dikembangkan penyidikannya.
Bisa jadi kalau hal itu dilakukan dengan serius oleh semua Penegak Hukum dan tidak tebang pilih proses hukumnya, mungkin saja wacana
gross-split tidak akan pernah muncul untuk mengantikan skema
cost recovery saat sekarang. Karena tidak ada orang pun bisa menjamin termasuk Menteri dan Wakil Menteri ESDM bahwa skema
gross split lebih baik dari skema
cost-recovery karena faktanya konsep PSC dengan skema
cost recovery lahirnya dari Indonesia dan sudah dijadikan konsep oleh sekitar 52 negara produsen minyak seluruh dunia dan ternyata hasilnya sangat adil bagi negara dan kontraktornya serta sangat maju sektor migasnya. Dan faktanya tidak pernah ada upaya perubahan skema PSC sampai saat ini.
Sesungguhnya kalau mengacu amanat UU Migas pasal 4 dan 44 yang secara jelas dan tegas telah menugaskan Badan Pelaksana /SKK Migas yang status hukumnya tidak jelas paska putusan Makamah Konstitusi tanggal 13 November 2012 tentang pembubaran BP Migas, secara tegas menyangkut:
Pertama, kepastian penerimaan negara yang maksimal untuk mensejahterakan rakyat
Kedua, penemuan cadangan migas dan peningkatan produksi migas.
Ketiga, peningkatan Tingkat Kandungan dalam negeri (TKDN)
Keempat, pengunaan tenaga ahli lokal dan pekerja lokal yang maksimal.
Kelima, menciptakan iklim kondusif dan menarik bagi Investor .
Sehingga apapun keputusan akhir Pemerintah terhadap apakah skema
gross-split atau modifikasi PSC seandainya sudah menjadi keputusan, seharusnya melalui kajian yang menyeluruh (aspek kepastian hukum dalam kontrak, ekonomi dan tehnis) dengan membuat modeling keenomiannya dengan analisa sensitifitas terhadap parameter-parameter tersebut di atas.
Sehingga hasil akhirnya bisa menjadi obat mujarab atas masalah mendasar disektor migas, bukan menjadi bencana bagi negara kita.
[***]
Penulis adalah Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI)
BERITA TERKAIT: