Jawaban yang dimunculkan sebagai tumpuan daya saing ini biasanya hanya merujuk pada aset-aset yang â€teraba†(tangible): sumberdaya material, tenaga terampil, arus investasi, prosedur demokrasi, legislasi dan sejenisnya.
Tetapi orang seringkali luput pada kearifan tradisional. Bahwa di balik perubahan-perubahan cepat dan serempak, ada elemen-elemen konstanta yang sepanjang sejarah umat manusia tetap menjadi jangkar kekuatan suatu masyarakat. Salah satunya adalah kekuatan akhlak-karakter sebagai aset yang tak teraba (intangible). Yang dimaksud karakter di sini berkaitan dengan segi-segi otoritas khas suatu masyarakat yang ditimbulkan oleh kualitas-kualitas keterpercayaan (trustworthy), kreativitas dan ketahanan dalam menghadapi krisis.
Faktanya, meskipun globalisasi cenderung melemahkan otoritas negara, negara-negara yang memperoleh banyak keuntungan dari globalisasi justru negara-negara dengan karakter kuat†yang mampu menegakkan otoritas dan karakter bangsanya.
Pembangunan ekonomi dan politik harus dimulai dari usaha memulihkan rasa saling percaya bahwa rasionalitas kepentingan individual tak akan dibayar oleh irasionalitas kepentingan kolektif. Kepercayaan bahwa warga negara akan mendapatkan politik sesuai dengan perilakunya harus diubah dengan kepercayaan bahwa politik terpercaya akan mendapatkan partisipasi politik yang sepadan dengannya.
Dalam hal ini, ada baiknya kita menyimak pernyataan Lee Kuan Yew mengenai â€trustâ€, sebagai modal terpenting dalam usahanya mentransformasikan Singapura yang miskin menjadi negara maju. â€Modal kami cuma kepercayaan dan keyakinan rakyat, kerja keras, hemat, haus belajar, serta kesadaran bahwa tindakan korup akan menghancurkan segala harapan.†Lantas ia tekankan, "Jangan sia-siakan kepercayaan rakyat. Sebab, modal terbesar untuk perubahan adalah kepercayaan dan keyakinan rakyat. Tugasku adalah untuk memberikan harapan kepada rakyat, bukan untuk membuatnya mengalami demoralisasi.â€
Masalah trust ini bukan hanya penting dalam kehidupan politik tetapi juga dalam daya saing perekonomian suatu bangsa. Seperti dinyatakan oleh Francis Fukuyama (1995), Kemakmuran suatu bangsa, dan juga kemampuannya untuk berkompetisi di pasar global, dikondisikan oleh suatu karakteristik kultural yang bersifar pervasif, yakni tingkat percaya†(trust) yang secara inheren ada dalam masyarakat tersebut.â€
Dalam pandangannya, kita tidak dapat memisahkan kehidupan ekonomi dari kehidupan budaya. Dalam suatu era ketika modal sosial†sama pentingnya dengan modal fisikâ€, hanya masyarakat dengan tingkat kepercayaan sosial yang tinggilah yang akan mampu menciptakan fleksibilitas, organisasi bisnis berskala luas yang diperlukan untuk berkompetisi dalam perekonomian global. Ditambahkan pula bahwa level trust yang tinggi bisa mengurangi berbagai ongkos transaksi yang membuat perekonomian berbiaya murah dengan kemampuan membangun jaringan dalam skala luas.
Berdiri di awal milenium baru, menyaksikan arus globalisasi yang kian luas cakupannya, dalam penetrasinya dan instan kecepatannya, mengusik rasa hirau kita akan eksistensi bangsa kita di pentas dunia. Adakah yang bisa banggakan di pentas dunia selain gelar-gelar buruk?
Betapa tidak, tingkat trust†bangsa ini di mata dunia terus merosot, seperti tercermin dari menguatnya indeks persepsi korupsi, country risk, buruknya etika kerja serta sebutan sebagai negara lembek (soft state).
Setiap hari, yang giat kita tabur hanyalah manipulasi dan caci maki. Rasa saling percaya lenyap. Setiap orang berlomba menghianati sesama dan negaranya. Kebaikan dimusuhi, keburukan diagungkan.
Jika bangsa ini kehilangan sumberdaya material, kita cuma kehilangan sesuatu. Jika kita tak kunjung menemukan pemimpin yang tepat, kita cuma kehilangan seseorang. Namun jika bangsa ini kehilangan karakter, maka kita akan kehilangan segalanya.
Marilah kita muliakan rasa saling percaya, dengan kesungguhan mengemban kepercayaan publik, dibarengi semangat saling berbagi dan saling menghormati.
[***]
Penulis adalah cendekiawan, pemikir Islam dan kenegaraan