Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Tiga Poros Kekuatan Pilkada DKI

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/m-a-hailuki-5'>M.A. HAILUKI</a>
OLEH: M.A. HAILUKI
  • Sabtu, 24 September 2016, 19:52 WIB
<i>Tiga Poros Kekuatan Pilkada DKI</i>
Ahok-Anies-Agus/Net
ARTIKEL ini ditulis ketika jutaan rakyat pemilih di DKI Jakarta berdebar-debar menanti apakah akan terjadi head to head antara kubu Basuki T Purnama (Ahok) dengan anti-Ahok, atau akan muncul Poros Tengah sebagai kekuatan ketiga yang akan mengusung kandidat alternatif.

Beberapa bulan lalu, pasca mundurnya Walikota Bandung Ridwal Kamil dari kontestasi pencalonan, saya memprediksi konstelasi akan menjadi tajam sehingga berpotensi kepada duel dua kandidat. Namun setelah mencermati perkembangan yang ada, serta menimbang baik buruknya dampak duel dua kandidat bagi kematangan demokrasi dan stabilitas politik di Ibukota, saya berpandangan akan lebih baik bila ada Poros Tengah yang mengusung kandidat alternatif.

Pertengahan pekan lalu kepada media massa saya katakan idealnya Pilgub DKI diikuti oleh tiga kontestan. Argumentasi yang saya beritakan adalah merujuk kepada pelajaran berharga saat Pilpres 2014 yang menyajikan pertarungan head to head antara Joko Widodo melawan Prabowo Subianto.

Beberapa pihak mengatakan, demi efisiensi biaya lebih baik kontestasi cukup hanya dua kandidat saja sehingga perhelatan bisa selesai dalam satu putaran. Belajar dari Pilpres 2014 saya tidak sependapat dengan proposisi tersebut, dalam perspektif pembangunan politik sebuah konsolidasi demokrasi tidak hanya bisa diukur dengan parameter efisiensi proses dan biaya saja. Tetapi juga dicerminkan dari kualitas tokoh yang dilahirkan dari rekrutmen politik yang berkorelasi kepada tumbuhnya partisipasi politik rakyat secara otonom.

Pertarungan head to head jika ditelisik lagi cenderung merugikan rakyat, dengan hanya ada dua kandidat saja rakyat seolah disandera dan dipaksa untuk memilih racikan para elite politik. Padahal kedaulatan rakyat terlalu mulia sekadar untuk dibenturkan kepada dua pilihan semata. Selain itu, head to head pun membentuk polarisasi ekstrim di tingkat horizontal, benturan terlalu tajam akan menanam kebencian antara kedua kubu berseteru secara laten.

Dalam pada itu, keterbatasan pilihan pun membuat partisipasi politik otonom rakyat tidak terbangun seutuhnya, mereka memilih bukan atas kesadaran sendiri tetapi keterpaksaan karena tidak tersedianya pilihan lain. Maka munculnya kandidat ketiga akan mendorong rakyat pemilih berpartisipasi secara otonom, bukan semata-mata karena mobilisasi politik yang didasarkan kepada kepentingan elite serta pemilik modal saja.

Poros Tengah

Sebagaimana dikatakan Samuel P Huntington (1994), partisipasi politik tidak hanya sekadar kegiatan warga negara (private citizen) dalam mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah, melainkan lebih kompleks, karena ada kegiatan orang lain di luar masyarakat tersebut yang juga ingin mempengaruhi pengambilan keputusan sehingga membentuk dua pola partisipasi yaitu otonom dan mobilisasi.

Proposisi Huntington tentang adanya pihak lain di luar masyarakat yang ikut mempengaruhi pengambilan keputusan itulah yang dimaksud dengan kaum oligark elite politik dan kelompok kepentingan. Demi keuntungan kuasa dan modal, didesain dan di-skenario-kan agar rakyat tidak memiliki banyak pilihan. Kandidat yang muncul diatur sedemikian rupa agar rakyat tidak punya keleluasaan sehingga tergiring kepada sosok yang dikehendaki elite.

Rancangan skenario tersebut hanya bisa digagalkan oleh desakan dan tuntutan rakyat yang sadar akan hak politiknya. Tingginya angka golput dalam beberapa perhelatan pilkada merupakan bentuk ‘protes’ sebagian rakyat atas keterbasatasan pilihan calon pemimpinnya sehingga mereka memilih untuk tidak menggunakan hak pilih. Di sini, partai politik harus cerdas membaca keinginan publik, elite politik dan pemilik modal mesti pandai-pandai menyelaraskan kepentingannya dengan selera pemilih.

Itulah mengapa pada akhirnya Partai Demokrat, PPP, PKB, dan PAN tidak berminat bergabung dengan Partai Gerindra dan PKS sehingga pada akhirnya memilih untuk membangun kekuatan Poros Tengah dalam peta politik pilgub DKI. Kekuatan poros tengah ini tidak mau terjebak dalam skenario head to head untuk menandingi pasangan Ahok-Djarot yang diusung PDIP, Golkar, Nasdem dan Hanura. Dengan adanya kekuatan ketiga maka rakyat tidak lagi tersandera, polarisasi tajam bisa terhindarkan, dan konstelasi semakin dinamis.

Drama politik pemunculan kandidat cagub dan cawagub DKI kali ini bisa dikatakan yang paling menarik sepanjang sejarah pilkada di Indonesia. Tarik ulur antara Ahok, Djarot dan Risma menjadi episode pembuka, kemudian berlanjut ke drama gagal bersatunya Koalisi Kekeluargaan mengusung penantang tunggal. Babak paling menegangkan adalah ketika Puri Cikeas menjadi episentrum kelahiran poros tengah untuk memecah kebuntuan dengan memunculkan pasangan Agus Harimurti-Sylviana Murni sebagai kandidat alternatif.

Episode ini ditutup dengan keputusan Prabowo mengusung mantan seterunya, Anies Baswedan menjadi cagub berpasangan dengan Sandiaga Uno sebagai cawagub yang dengan sendirinya memupus harapan Yusril Ihza Mahendra menjadi penantang Ahok. Dari ketiga pasangan tersebut, yang paling mengejutkan publik adalah sosok Agus Harimurti, putra sulung SBY yang memutuskan untuk pensiun dini dari karier militernya dengan pangkat terakhir mayor TNI AD. Persoalan ini akan saya ulas pada lain kesempatan.

Perbandingan Kekuatan

Berbicara tentang perbandingan kekuatan politik maka kita tidak sebatas membahas popularitas dan elektabilitas setiap kandidat, melainkan juga bicara tentang entitas-entitas berpengaruh apa saja yang berada di balik ketiga poros kandidat. Untuk mengukur seberapa kuat poros yang ada maka harus diukur seberapa besar pengaruh yang dimiliki entitas di belakangnya. Entitas tersebut tidak sebatas institusi formal seperti dukungan partai politik pengusung saja, melainkan juga kelompok pengusaha, kelompok profesi, kelompok primordial, kelompok penekan, dan kelompok penegak hukum dan militer.

Dari sisi kelompok pengusaha sudah barang tentu kandidat petahana Ahok-Djarot lebih kuat dibanding lainnya, karena lazimnya penguasa memiliki relasi yang dalam dengan pengusaha. Yang paling kentara adalah kedekatan Ahok dengan sejumlah pengusaha properti seperti Agung Sedayu dan Agung Podomoro, belum lagi pengaruh Presiden Jokowi terhadap kelompok pengusaha menjadi bagian tak terpisahkan dari kekuatan Ahok.

Sedangkan dari sisi kelompok profesi, yang paling berpengaruh di Jakarta adalah masyarakat kelas menengah terdiri dari pegawai swasta profesional dan pegawai negeri sipil (PNS). Kalangan ini memiliki akses informasi yang sangat baik, cenderung rasional dalam menentukan pilihan. Pada dukungan sisi ini ketiga kandidat memiliki kekuatan merata, namun pasangan Agus-Sylvi lebih berpeluang meraih dukungan birokrat PNS dibanding kedua kandidat lainnya mengingat Sylvi adalah mantan walikota Jakarta Pusat dan Jakarta Barat.

Adapun kelompok primordial yang ada di Jakarta dapat dipetakan berdasar basis etnis, agama dan ideologi. Berdasarkan sensus Badan Pusat Statistik (BPS), tiga etnis terbesar di Jakarta adalah Jawa (35,16%), Betawi (27,65%) dan Sunda (15,27%). Pada kelompok etnis Jawa dukungan akan terpecah kepada Djarot S Hidayat yang berasal dari Blitar dan Agus Harimurti yang berdarah Purworejo-Pacitan. Pada kelompok etnis Betawi tampaknya akan terkonsentrasi kepada sosok Sylvi sebagai satu-satunya kandidat berlatar Betawi. Adapun pada kelompok etnis Sunda kemungkinan akan tersebar merata ke semua kandidat.

Selanjutnya, berdasarkan basis agama yang mayoritas penduduk Jakarta didominasi umat Islam sosok Anies Baswedan yang berlatar Arab memiliki nilai jual tersendiri. Namun, jika kita bedah lebih dalam lagi mayoritas warga Muslim Ibukota sesungguhnya memiliki ideologi berbeda-beda, seperti Islam-nasionalis dan Islam-tradisional cenderung akan mendukung Ahok-Djarot dan Agus-Sylvi, sedangkan Islam-modernis dan Islam-fundamentalis kemungkinan besar mendukung Anies-Sandi.

Kemudian pada sisi kelompok penekan yang terdiri dari mahasiswa, buruh, pegiat NGO, dan pers masing-masing kandidat memiliki kekuatan. Terutama kubu Ahok-Djarot yang didukung Surya Paloh selaku pemilik Media Group (Metro TV), serta Aburizal Bakrie pemilik Viva Group (tvOne). Sementara kaum buruh pekerja dan pegiat NGO cenderung berseberangan dengan kandidat yang dekat dengan pengusaha sehingga sebagian besar dukungan mereka berpeluang diberikan kepada Agus-Sylvi dan Anies-Sandi.

Adapun kekuatan mahasiswa tidak akan solid kepada satu kandidat, meski secara formal tidak vulgar menyatakan dukungan, namun secara informal tujuh besar gerakan mahasiswa bisa dipetakan sebagai berikut; Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) dipastikan mendukung Ahok-Djarot, sedangkan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) kemungkinan terpecah ke semua kandidat. Adapun Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) tampaknya cenderung solid mendukung Agus-Sylvi mengingat PPP dan PKB berada dalam barisan koalisi Poros Tengah.

Sedangkan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) cenderung memberikan dukungan kepada Anies-Sandi mengingat PKS sebagai partai pengusung. Sementara dua organisasi pergerakan Kristiani yaitu Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) dan Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), kemungkinan juga akan tersebar ke semua kandidat, namun sebagian besar akan mendukung Ahok-Djarot.

Entitas terakhir, kelompok penegak hukum terdiri dari Polri, Kejaksaan, KPK. Ketiga institusi ini sepatutnya netral tidak memihak kepada salah satu kandidat, karena apabila ketiganya melakukan intervensi maka demokrasi kita akan tercemari. Saya yakin Kapolri Tito Karnavian dan Ketua KPK Agus Rahardjo bisa menjaga netralitas lembaganya, tapi bagaimana dengan Jaksa Agung M. Prasetyo yang notabene kader Partai Nasdem? Kita berharap Kejaksaan tidak menjadi alat politik praktis jika tidak ingin kehilangan lagi kepercayaan masyarakat (public trust). Adapun TNI, sedikitpun tak ada keraguan netralitasnya, di bawah kepemimpinan Panglima TNI Gatot Nurmantyo, militer semakin profesional netral.

Selain kelompok-kelompok di atas, kekuatan lain yang harus diperhatikan adalah pengaruh Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara pilkada. Bukan rahasia lagi, dalam ajang pilkada KPU kerap dituduh bermain mata dengan salah satu kandidat, terlebih lagi petahana memiliki kewenangan dalam kebijakan anggaran terhadap KPU Provinsi DKI sebesar Rp478 miliar yang diambil dari APBD. Tidak boleh lagi ada cerita keberpihakan dan perselingkuhan, KPU harus profesional serta bebas dari kepentingan politik.

Di luar kekuatan partai politik, kelompok pemilik modal, kelompok profesi, kelompok primordial, kelompok penekan, dan kelompok penegak hukum yang menjadi utama adalah modal sosial setiap kandidat terutama terkait dengan rekam jejak, integritas, kapasitas dan kapabilitas. Meraih dukungan 50+1 suara pemilih di tengah tiga pilihan yang ada tidak semudah mengedipkan mata.

Berdasar uraian di atas dimana sosok tiga pasangan yang ada memiliki kekuatan berimbang, rasanya terlalu dini untuk menyatakan bahwa Pilgub DKI telah selesai, terlalu pagi pula mengatakan bisa menang satu putaran. Prediksi yang mengatakan pemenangnya sudah bisa ditentukan sekarang jelas dibangun di atas argumentasi yang dangkal dan rapuh, karena sesungguhnya perang baru saja dimulai. [***]

Penulis adalah pemerhati politik Universitas Nasional Jakarta dan pengurus Ikatan Alumni Ilmu Politik IISIP Jakarta.

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA