Masih Banyak Media Perempuan Miskin Perspektif Gender

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/'></a>
LAPORAN:
  • Sabtu, 16 April 2016, 15:48 WIB
rmol news logo Perkembangan teknologi dan persaingan yang ketat memunculkan berbagai media yang penuh warna dengan jenis kertas tertentu dan tampilan glossy untuk mengundang pengiklan dari barang-barang berkelas dan pembaca dari segmen kelas menengah ke atas.

"Yang jadi pertanyaan adalah di mana letak media perempuan dalam era pers industri dewasa ini?" kata Ketua Dewan Pers, Yosep Adi Prasetyo dalam sambutan pembuka Pelatihan Jurnalis tentang Gender di Gedung Dewan Pers, Jakarta, belum lama ini.

Pelatihan Jurnalis tentang Gender digelar Dewan Pers bersama Institute Peace for Democracy selama dua hari, 13-14 April 2016. Sedikitnya 20 jurnalis dari 15 provinsi, termasuk Jakarta menjadi peserta pelatihan ini.

Menurut Yosep, meski banyak media perempuan yang didirikan dengan cita-cita untuk memajukan kaum perempuan, namun nyatanya dari sisi isi, cara peliputan maupun iklan hampir semua tak mampu keluar dari nilai-nilai kapitalisasi sebuah media.

"Penyebutan media perempuan oleh beberapa media yang ada tak lain sekadar menjadikan kaum perempuan sebagai penegasan atas segmentasi pasar media tersebut," ujarnya.

Media juga, ia mencermati menempatkan perempuan sebagai obyek dagangan. Antara lain untuk pemasaran barang-barang konsumtif dan kosmetik, untuk membeli fesyen (fashion) dan minyak wangi mahal dari kelas dunia, untuk membeli arloji bertahtakan emas dan intan permata dan lain-lain.

"Dalam media perempuan terkemuka, hampir semua model yang memperagakan fesyen baru serta model dalam iklan adalah mereka yang menggambarkan garis keturunan Kaukasid," jelasnya.

Ironisnya, lanjut Yosep, hampir semua media perempuan yang ada melengkapi gambaran miskinnya perspektif dan ideologi gender yang dimiliki para pengasuh media. Media perempuan juga membuktikan bahwa mereka sama sekali tak pernah meliput kaum perempuan yang berasal dari sektor bawah, mungkin dengan alasan sektor ini memang bukan segmentasi pembaca mereka.

Liputan tokoh yang kebanyakan merupakan tokoh perempuan yang datang dari
dunia karir, ia perhatikan selalu ditanya dengan pertanyaan klise yang justru anti-gender seperti, 'Bagaimana cara Ibu membagi waktu antara untuk karier dengan untuk suami dan keluarga?' atau 'Apakah sering ada komplain dari suami akibat kesibukan ibu di luar rumah?'.

"Jelas, selain pertanyaan tersebut tak relevan juga melecehkan si tokoh perempuan. Seolah nilai kesuksesan karirnya hanya bisa dinilai tinggi apabila ia juga sukses dalam merawat suami dan mengatur kehidupan rumah tangga," tutur Yosep.

Masih dalam kesempatan yang sama, Dubes Faischa Cahyaningati dari Yayasan IPD menyampaikan, bulan April ini memiliki makna sangat penting bagi emansipasi wanita dan keadilan gender. Dan media, kata dia, memiliki tugas penting, yaitu pertama dalam menyampaikan kebenaran tentang persoalan ketidakadilan yang dialami wanita. Kedua, dalam mendukung adanya diskursus tentang keadilan gender. Ketiga, dalam mengupayakan transformasi bagi munculnya nilai, kultur, dan praktek yang menghormati keadilan gender.

Semua hal tersebut, menurut Faisha, hanya bisa tercapai kalau para tokoh media dan calon pemimpin media bersama-sama berbagai pengalaman dan semangat untuk mendukung keadilan gender.

"Kartini memanggil insan media. Kebebasan bersuara dan berpikir yang anda miliki adalah mimpi kaum wanita dan gadis yang menuntut pengejawantahan," ucapnya.

"Baik di ranah publik maupun keseharian mereka menuntut keadilan, dan pelatihan ini menyuarakan kepedulian dan solidaritas," imbuh Faisha.[wid]


Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA