Setidaknya ada
tiga hal yang membuktikkan itu. Pertama, Jokowi tidak pernah menegur
Menkumham Yasonna Laoly yang mengeluarkan SK yang mengesahkan
kepengurusan Partai Golkar kubu Agung Laksono.
Kedua, Istana
mengundang Agung Laksono dalam kapasitas sebagai Ketua Umum Partai
Golkar untuk menghadiri pembukaan Kongres Asia Afrika.
Ketiga,
Jokowi memberikan penghormatan kepada Ketua Umum Golkar Agung Laksono
dalam sambutan di Pembukaan Kongres IV Partai Demokrat.
Namun,
dukungan Jokowi tersebut tidak menggoyahkan Majelis Hakim PTUN untuk
membatalkan SK Menkumham yang mengesahkan kepengurusan Partai Golkar
versi Munas Jakarta.
Konsekuensi dari putusan PTUN adalah bahwa
tindakan Jokowi yang lebih cenderung mendukung kepengurusan Partai
Golkar kubu Agung Laksono ternyata salah di mata hukum. Itu artinya
presiden telah bertindak gegabah tanpa mengindahkan rambu-rambu hukum
dan politik.
Semestinya sebagai kepala negara, Jokowi bersikap netral. Keberpihakan ke salah satu kubu bisa diartikan sebagai intervensi.
Parahnya,
ternyata kubu yang didukung Jokowi tersungkur di Majelis PTUN. Itu juga
bisa diartikan, bahwa kemenangan Ical telah meruntuhkan kewibawaan
Jokowi.
[***]
Penulis adalah Sekretaris Jenderal Himpunan Masyarakat Untuk Kemanusiaan dan Keadilan (HUMANIKA).
BERITA TERKAIT: