Tetapi mengapa rekomendasi Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) DKI Jakarta yang meminta pemungutan ulang di 5.800 TPS ditolak KPU.
Mengapa KPU bersikeras akan mengumumkan hasil pemungutan suara tanggal 22 Juli dan kedua kubu capres diam padahal di 5.800 TPS itu pendukung keduanya terlibat.
Demikian antara lain pertanyaan aktivis HAM Ratna Sarumpaet mengenai keanehan yang mengiringi proses Pilpres 2014.
“Katakanlah kubu Jokowi diam karena merasa sudah sukses menggiring opini dan merasa menang. Tetapi kenapa kubu Merah Putih ikut diam? Kenapa Merah Putih tidak menolak tegas sikap KPU yang otoriter, toh UU Pemilu mengatur masa penghitungan Suara 30 hari, yakni hingga 8 Agustus 2014,†ujar Ratna Rarumpaet.
Menurut hemat Ratna, seharusnya kedua kubu
all out menuntut KPU menunda pengumuman hasil pemungutan suara demi membela hak suara rakyat yang dicurangi.
“Kenapa pula setelah dua bulan lebih rakyat diintimidasi berita-berita manipulatif konflik politik antar kubu capres, kedua kubu dalam dua hari terakhir mendadak kompak menyerukan damai, lupa ada jutaan rakyat dicurangi dan tidak dibela,†sambungnya.
Dengan sikap otoriter KPU nasib bangsa tidak lagi ditentukan suara rakyat seperti bunyi iklan KPU. Tetapi ditentukan kelakuan otoriter KPU.
Untuk itu, seru dia, rakyat Indonesia di kubu mana pun, termasuk yang golput, wajib menolak.
“Pilpres tidak semata persoalan menang kalah capres, tapi persoalan masa depan bangsa dan seluruh rakyat Indonesia. Inti demokrasi dalam pemilu seliberal apa pun adalah keadilan. Bukan perdamaian yang mengabaikan keadilan,†demikian Ratna.
[dem]
BERITA TERKAIT: