Demikian disampaikan caleg DPRD DKI Jakarta dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang juga peneliti di Institut Kewarganegaraan Indonesia (IKI), Eddy Setiawan, dalam pernyataan pers yang diterima
Rakyat Merdeka Online, Jumat (21/3).
Salah satu produk hukum diskriminatif yang baru dicabut pemerintah adalah Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor SE-06/PRES.KAB/6/1967 yang merupakan tindak lanjut dari Seminar Angkatan Darat Ke-2 di Bandung yang merekomendasikan untuk mengganti istilah Tionghoa menjadi istilah lain yang dimaksud untuk merendahkan.
"Hal itu kemudian menimbulkan dampak psikososial-diskriminatif terhadap warga Tionghoa di seluruh Indonesia, dan berlangsung sejak berdirinya Orde Baru yang ditopang oleh Golkar dan ABRI," ujar Eddy.
Reformasi telah memberikan angin segar bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Di tengah-tengah transisi demokrasi ini berbagai produk perundangan yang maju telah disahkan mulai UU Hak Asasi Manusia pada tahun 1999, UU Kewarganegaraan pada tahun 2006, UU Adminduk pada tahun 2006, UU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis tahun 2008 dan lain sebagainya.
Gus Dur kemudian mencabut Inpres Nomor 14 Tahun 1967 yang membelengu berbagai adat istiadat, budaya, dan agama yang bercirikan Tionghoa. Klenteng-klenteng Buddhis, Wihara Buddha Mahayana, hingga Litang Konghucu yang seluruhnya kental dengan nuansa kebudayaan Tiongkok, sehingga akhirnya masyarakat Tionghoa kembali dapat mengekspresikan kebudayaannya di depan umum.
Dia mensyukuri pemerintah kembali mencabut salah satu produk hukum yang "nyentrik" itu (Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera) dengan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2014 (Kepres 12/2014), yang mengembalikan sebutan Tionghoa untuk menyebut orang atau komunitas dalam khasanah kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara.
"Selaku calon legislatif DPRD DKI Jakarta dari PKB, saya mengapresiasi dan menghaturkan terimakasih kepada pemerintah yang telah berani jujur mengakui kesalahan pemerintah di masa lalu dan memperbaikinya," terang caleg nomor 8 dari Dapil 10 Jakarta Barat itu.
Dia berharap, tidak akan ada lagi perlakuan diskriminatif oleh negara terhadap siapapun, apalagi mengingat sekarang Indonesia telah memiliki UU HAM dan UU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.
Dan, Keppres 12/2014 adalah obat penyembuh bagi dampak psikososial-diskriminatif yang telah menjadi "virus" dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sejak berkuasanya Orde Baru.
[ald]
BERITA TERKAIT: