Hal ini diungkapkan kuasa hukumnya, H. Dencik Naya, saat dihubungi
Rakyat Merdeka Online Sumsel, Sabtu (1/3). Sebelumnya, calon incumbent itu dianggap melanggar UU 8/2012 tentang Pemilu dan Peraturan KPU 15/2013 tentang pedoman pelaksanaan kampanye pemilu.
"Jelas kami merasa dirugikan, Beliau seorang tokoh, guru, dan anggota DPD RI. Nama Beliau jadi tercoreng,"ujarnya.
Ia menyesalkan sanksi yang diberikan KPU. Pihaknya bersikukuh tak ada pelanggaran apapun yang dilakukan Aidil.
Aidil dijerat Peraturan KPU 15/2013 terkait kampanye di lembaga pendidikan, tempat ibadah dan kantor pemerintahan. Hasil rapat pleno Panwaslu Palembang memutuskan, Aidil terbukti melanggar kampanye terselubung di lembaga pendidikan Al Furqon Kecamatan Kemuning, Palembang. Di sana ditemukan alat peraga, stiker, spanduk, dan bukti temuan lainnya.
Namun Dencik menegaskan, Aidil diundang organisasi PGRI, tidak ada pemasangan APK, dan tidak ada imbauan memilih. Menurutnya, surat dari Panwaslu (rekomendasi pelanggaran) sudah terlanjur dikirim ke KPU. Saat itu, Aidil tidak bisa datang klarifikasi karena memimpin rapat di DPD, Senayan, Jakarta.
"Tapi kan ada perwakilannya datang. Nah, saat Beliau memberikan klarifikasi tanggal 21 Februari, surat Panwaslu sudah terlanjur diserahkan ke KPU. Harusnya rekomendasi Panwaslu ditarik," bebernya.
Lalu bagaimana dengan bukti-bukti temuan Panwaslu?
"Tidak ada buktinya, memang ada APK tapi bukan timses Pak Aidil yang pasang, mungkin simpatisan, atau orang yang sengaja mencari masalah. Tidak tahu jugalah," kilahnya.
Walaupun ia mengaku adanya pencopotan APK, tapi itu dipandangnya bukan sanksi terkait kampanye terlarang yang dilakukan di sekolah.
"Kalau pencabutan APK, semuanya juga dicabut, bukan punya Pak Aidil saja. Saya dengar memang Pol PP sedang penertiban APK toh," pungkasnya.
[ald]
BERITA TERKAIT: