Singapura lancang memprotes penamaan kapal Usman-Harun dan melarang kapal itu melewati perairan mereka. Sementara soal Australia, terungkap lagi sebuah dokumen yang menunjukkan praktik penyadapan menyasar 1,8 juta nomor ponsel rakyat Indonesia.
"Dua tindakan ini hanya disambut gerutuan Menlu. Gerutuan ini muncul karena memang sulit bertindak tegas. Soal pokok tidak mandirinya kita sebagai bangsa, terus menerus dibuat tergantung pada asing, dari hal sepele hingga hal strategis," kata Direktur Eksekutif Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima), Ray Rangkuti, lewat pesan elektronik, Kamis (20/2).
Contoh paling kelihatan, pemerintah Indonesia tetap tidak berani memutuskan dan membatalkan bantuan Australia terhadap pemilu Indonesia. Ditengarai, hampir Rp 500 miliar bantuan Australia untuk pemilu Indonesia. Ini bagian dari hampir Rp 6,7 triliun total bantuan Australia ke Indonesia. Tentu saja bantuan-bantuan seperti ini membuat Indonesia seperti negara lemah dengan sikap mendua.
Ray tegaskan bahwa sejak awal organisasinya mendesak pemerintah Indonesia membatalkan bantuan-bantuan Australia dan negara asing lainnya, khususnya yang terkait pelaksanaan pemilu. Kebijakan itu tidak saja untuk memutus mata rantai ketergantungan, tapi sekaligus mencegah masuknya infiltrasi kepentingan Australia dalam pemilu Indonesia.
"Data-data pemilu Indonesia tentu amat penting bagi Australia dan juga banyak negara lain. Dengan mudahnya mereka mengakses data pemilu Indonesia, akan memberi jalan bagi negeri itu untuk melihat utuh lanskap politik Indonesia," jelas Ray.
Itulah mengapa lembaga donor asing seolah berlomba membantu pemilu Indonesia, khususnya yang terkait pengembangan data pemilu (data pemilih, dapil, hasil perolehan suara). Dengan kejadian penyadapan berulang kali oleh Australia, mestinya makin memberi kesadaran pemerintah untuk segera mengembalikan dana bantuan Australia terhadap pemilu Indonesia.
"Ini era di mana pemilu Indonesia benar-benar kita kelola secara mandiri," tandasnya.
[ald]
BERITA TERKAIT: