"PDIP dalam posisi tidak nyaman dan dilematis antara mengusung Megawati (ketua umum) atau Jokowi. Salah dalam menentukan dan menyodorkan sosok calon pemimpin nasional bisa berakibat fatal terhadap PDIP," kata Direktur Eksekutif Lembaga Survei Independen Nusantara (LSIN), Yasin Mohammad, dalam rilisnya, Sabtu (8/2).
Hasil survei LSIN yang dirilis pada bulan Oktober 2013 juga menunjukkan bahwa tingkat keterpilihan Jokowi sebagai Capres pilihan publik dari PDIP mencapai 35,4 persen, unggul atas Megawati Soekarnoputri 31,8 persen, Guruh Soekarnoputra 11,0 persen, Pramono Anung 2,5 persen, Puan Maharani 1,9 persen.
Megawati selalu memberikan jawaban diplomatis jika dikejar tentang siapa Capres PDIP, bahwa Capres PDIP ditentukan setelah Pileg April 2014. Artinya PDIP mengambil langkah yang berbeda dengan parpol lain. Parpol lain menjadikan sosok Capres sebagai dagangan politiknya demi merebut simpati publik.
"PDIP mengalami tingkat ke-pede-an (percaya diri) yang memuncak dan percaya atas kinerja kader-kader potensial di internalnya dalam memenangkan Pemilu 2014," ujarnya
Kader-kader muda PDIP seperti Ganjar Pranowo, Jokowi, Rieke, justru dijadikan mesin politik untuk merebut hati rakyat, sehingga sistem kerja politik Parpol dipastikan berjalan melalui kader-kader yang ada di daerahnya untuk memastikan memenangkan Pemilu legeslatif.
"Bukan mengandalkan sosok Capres, kehadiran Mega dinilai sudah cukup untuk memenangkan Pileg 2014," tambah Yasin.
Beberapa pengamat politik mengklaim bahwa elektabilitas PDIP akan stagnan bahkan cenderung menururn jika tidak segera mendeklarasikan Jokowi sebagai Capres. Namun, Yasin Mohammad menegaskan bahwa kebijakan yang diambil oleh PDIP dengan tidak buru-buru mendeklarasikan Jokowi sebagai Capres PDIP adalah langkah jitu.
"Hal ini tidak lepas dari kematangan kader-kader internal di dalamnya," terangnya.
[ald]
BERITA TERKAIT: