"Kalau sudah pernah diputus di pengadilan pajak dan diputus lagi di tingkat kasasi oleh MA itu berarti yurisdiksi hukum yang ngawur," ujar pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Prof. Andi Hamzah, dalam keterangan tertulis yang diterima redakasi, Rabu (10/7).
"Kalau memang sudah ada putusan yang berkekuatan hukum yang tetap di Pengadilan Pajak maka yang dilaksanakan adalah putusan di Pengadilan Pajak karena itu lex spesialis," imbuhnya.
Ia menambahkan, seseorang tidak dapat dituntut lantaran perbuatan yang baginya telah diputuskan oleh hakim. Dikatakan Andi, putusan kasasi MA tetaplah sebuah keputusan hukum yang mengikat dan harus dihormati. Hanya saja upaya PK kata dia masih dimungkinkan bagi mereka yang ingin mencari keadilan akibat dari putusan itu.
Hal senada disampaikan ahli hukum pajak dari UI Prof. Gunadi. Baginya, kasus Asian Agri adalah sebuah kasus yang kompleks. Oleh karenanya untuk membuktikan pihak mana yang memutus dalam keadaan yang sebenarnya (demi kepastian hukum dan keadilan), Asian Agri menurut Gunadi sudah seharusnya menempuh upaya PK.
"Sulit kita tahu apakah pengadilan tingkat pertama dan banding (vonis bebas) yang memutus dalam keadaan sebenarnya atau sebaliknya MA (vonis bersalah). Lebih baik Asian Agri mengajukan PK untuk membuktikannya,†tutur Gunadi.
Sementara itu mantan Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Machfud Sidik, di pemberitaan media , mengkategorikan kasus pajak Asian Agri bukanlah tergolong dalam kasus pidana melainkan kasus sengketa pajak.
"Wajib pajak mempunyai hak untuk mendapatkan keadilan. Namun ketika dinyatakan bersalah tidak membayar pajak, maka petugas pajak harus tegas menegakkan hukum," tambah mantan Dirjen Pajak ini.
Hal ini menurutnya sangat berbahaya dan menakutkan bagi dunia usaha. Ia mengibaratkan apa yang dilakukan Ditjen Pajak dalam kasus Asian Agri tak semata-mata mengambil butir telur, tapi mengambil ayamnya sekaligus. Dengan kata lain Ditjen Pajak sangat berpotensimembunuh dunia usaha ke depan.
[dem]
BERITA TERKAIT: