Permintaan itu disampaikan Sekretaris Eksekutif Bidang Diakonia Persatuan Gereja Indonesia (PGI) Jeirry Sumampow, kepada
Rakyat Merdeka Online dalam keterangan tertulisnya, Selasa, (25/6).
Dalam pandangan PGI kata Jeirry, ada dua kekeliruan mendasar RUU Ormas ini dan karena itu harus ditolak.
Pertama, paradigma yang dipakai adalah paradigma kontrol, jelas Jeirry, jadi RUU Ormas tersebut nanti akan digunakan Pemerintah untuk mengontrol gerak gerik ormas, dengan sendirinya hal itu bermakna mengekang kebebasan dan menghalangi ormas melakukan kontrol dan kritik terhadap kebijakan-kebijakan yang akan dikeluarkan pemerintah.
"Ini akan menjadi basis legitimasi menuju pemerintahan yang otoriter, dengan demikian, maka semangat RUU Ormas ini bertentangan dengan semangat reformasi," ujar Jeirry.
Kedua, paradigma yang digunakan adalah paradigma pemerintah sentral. Dan karena itu, pemerintah dirancang sebagai satu-satunya agen bagi upaya pembangunan bangsa. Dalam hal ini, masyarakat atau Ormas hanya sebagai pendukung saja, yang harus ikut dengan apa yang diputuskan dan diberikan oleh Pemerintah, peran masyarakat semata hanya peran pendukung, bukan peran utama. Pemerintahlah aktor utamanya dalam kerangka pikir seperti ini, maka posisi pemerintah dan ormas ditempatkan tidak setara, pemerintah di tempatkan dalam posisi di atas ormas.
Hal ini menurut Jeirry menyalahi peran pemerintah, sebab pemerintah semestinya berperan melayani rakyat. Dan karena itu, fungsi yang harus dijalankan adalah fungsi fasilitasi. Jadi, pemerintah harus memfasilitasi Ormas agar bisa berpartisipasi secara maksimal dalam proses pembangunan bangsa ini.
"Saya kira, pemerintah ini dan DPR terlalu memaksakan kehendak dalam soal UU Ormas. Jika UU Ormas tetap disahkan maka Pemerintah dan DPR sedang mempraktekan model pemerintahan yang otoriter," terangnya.
Sebab RUU ini kata dia, akan ditolak oleh semua ormas, khususnya Ormas Keagamaan. Pengesahan RUU Ormas adalah pemaksaan kehendak dan itu adalah ciri utama sebuah pemerintahan yang otoriter, dalam hal ini pemerintah dan DPR sudah tak mau mendengar suara dan aspirasi rakyat lagi.
"Jadi ibaratnya, 'anjing menggonggong kafilah berlalu'." ungkap Jeirry.
Maka sangat mengherankan, sebab RUU Ormas ini mendapat penolakan dari seluruh elemen Ormas yang ada di masyarakat, tapi Pemerintah dan DPR jalan terus. "Ini pertanyaan besar yang tak mendapatkan jawaban sampai saat ini," terangnya.
Alasan yang sering dikemukakan pemerintah dan DPR pun tambah Jeirry, sangat mengada-ada dan tidak memiliki dasar hukum dan faktual. Kalau hanya ingin menindak ormas yang anarkis, regulasi saat ini sudah sangat cukup. Persoalan sekarang adalah pada Pemerintah yang takut mengamambil tindakan tegas. Jadi secara hukum, regulasi sudah sangat cukup, secara faktual pun, ternyata dukungan terhadap RUU ini sangat minim bahkan cenderung tak ada. Baik dari Ormas Keagamaan, LSM, maupun kelompok-kelompok yang berdasarkan minat.
"Jadi dukungan faktualnya tak ada sehingga RUU ini semestinya tak relevan bagi kehidupan masyarakat," demikian Jeirry Sumampow.
[rsn]
BERITA TERKAIT: