Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Belum Ada Perubahan Signifikan Kinerja KPU

Menanggapi Pengumuman dan Penayangan DCS Agggota Legislatif 2014

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/ray-rangkuti-5'>RAY RANGKUTI</a>
OLEH: RAY RANGKUTI
  • Jumat, 14 Juni 2013, 14:44 WIB
Belum Ada Perubahan Signifikan Kinerja KPU
ray rangkuti/ist
KPU telah resmi mengumumkan Daftar Calon Sementara anggota legislatif 2014. Sekalipun merupakan langkah yang positif, tetapi pelaksanaannya dalam beberapa hal perlu diberi catatan. Baik yang terkait dengan tekhnis pengumuman maupun masalah subtansial lain, khususnya yang terkait dengan penghangusan keberadaan parpol dalam satu dapil.
Beberapa catatan tekhnis adalah:

1. Sekalipun tidak terlalu signifikan, tetapi kebiasaan KPU yang tidak dapat tepat waktu dalam pelaksanaan tahapan pemilu, sebagaimana yang mereka janjikan, layak menjadi perhatian. Tak terkecuali dalam penayangan DCS di web KPU yang terlambat beberapa jam. Ini bukan kali pertama KPU terlambat menepati janji kepada masyarakat. Bahkan sebelumnya, karena tak mampu menepati janji untuk mengumumkan hasil verifikasi partai politik calon peserta pemilu tepat waktu, KPU telah diberi sanksi oleh DKPP. Molornya janji pengumuman DCS ini menyiratkan masih lemahnya kordinasi kerja di lingkungan KPU. Ketua KPU menyatakan akan mengumumkan jam 11.00, komisioner lain menyebut jam 16.00, dan nyatanya baru tayang di web KPU pada jam 17.00.

2. Molornya jam penayangan ini tentu saja layak diperhatikan karena ternyata sekaligus mengubah data DCS yang sebelumnya diumumkan oleh KPU (10 Juni 2013). Pada saat pengumuman lisan itu, KPU hanya menyebut 4 partai politik yang tidak lolos di daerah pemilihan tertentu. Faktanya begitu diumumkan melalui web, satu partai yakni Hanura dinyatakan juga tidak lolos pada dapil Jabar II. Tentu hal ini dapat mengundang tanda tanya, khususnya terkait dengan kinerja verifikasi yang dilakukan oleh KPU. Apakah DCS yang baru ditayangkan ini memang merupakan hasil kinerja verifikasi yang solid atau tidak. Jika ya, mengapa ada partai yang menyusul gagal dalam dapil paska pengumuman partai-partai yang tidak lolos dalam dapil tertentu.  Artinya dalam hal ini, kekeliruan dalam verifikasi sangat mungkin terjadi.

3. Oleh karena itu, harus ada kemauan dari KPU untuk juga terbuka dari kemungkinan perbaikan data. Data yang dianggap KPU selama ini sebagai solid, bisa saja kenyataannya sebaliknya. Kasus Hanura menunjukan ketidakcermatan itu. Bila KPU bisa teledor dalam hal meloloskan kemudian meralatnya, bisa juga hal yang sebaliknya terjadi. Yakni KPU menyatakan tidak lolos untuk sesuatu yang sejatinya lolos. Oleh karena itu, penanyangan DCS itu harus juga menjadi pintu bagi koreksi kinerja KPU. Dan KPU tidak perlu ragu untuk membetulkan jika data yang ada dapat menunjukan kekeliruan KPU tersebut.

4. Dengan dua kejadian tekhnis ini, dapat kita menyebut belum ada perubahan signifikan dalam kinerja KPU. Berkaca dari kasus Hanura, selalu terbuka kemungkinan akan adanya partai politik lain yang akan gugur dalam dapil tertentu akibat gugurnya sarat keterwakilan perempuan dalam dapil yang dimaksud. Kalau hari ini ada 5 partai politik yang gugur dalam beberapa dapil, bisa jadi besok hari akan bertambah jumlah partainya, atau jumlah partai yang sama dengan dapil gugur yang bertambah. Tentu saja, jika hal ini terjadi akan menjadi masalah besar.  Perlu memikirkan ulang penerapan sanksi gugur dalam dapil akibat tidak mampu memenuhi persaratan keterwakilan perempuan dan penyusunan nomor urut perempuan. Jika merujuk pada kasus-kasus yang terjadi, ada perasaan pilu dan miris melihat gugurnya banyak caleg akibat tidak terpenuhinya administrasi satu caleg di antara mereka. Dalam hal ini mungkin perlu mempertimbangkan prasa tidak melaksanakana amanah UU atau tidak cukup sarat administratif yang dihajatkan oleh UU.  Dalam bahasa lain dengan sengaja tidak memenuhi amanah UU atau dengan tidak sengaja memenuhi ketentuan administrasi yang dihajatkan oleh UU. Pembedaan ini penting agar pemilu kita tidak terjebak pada ‘rezim administrasi’ yang membunuh kesempatan yang sama bagi warga negara untuk terlibat dalam pemilu. Persoalan administrasi sejatinya tidak boleh membunuh keadilan. Oleh karena itu, LIMA Indonesia tetap menyarankan KPU agar meninjau ulang ketentuan sanksi tersebut dengan memulai dua pembedaan yang dimaksud. Atau KPU sendiri, dengan kewenangan yang ada pada mereka, dapat langsung membetulkan kekeliruan bila misalnya hal itu tidak memerlukan keterlibatan institusi lain, seperti susunan nomor urut caleg perempuan, agar memenuhi ketentuan UU. Dan dengan begitu menyelamatkan partai politik dari kekosongan di dapil. Intinya mendahulukan agar caleg lain tidak menanggung rugi dari satu tindakan melanggar administratif yang tidak mereka lakukan merupakan prioritas dari pada mencoret parpol hanya karena misalnya nomor urutnya tidak sesuai dengan ketentuan.
 
5. Model  atau format pengumuman DCS yang dirancang oleh KPU sebenarnya tidak memiliki fokus dan titik tekan. Dengan sekedar menyebut partai, nama, nomor urut dan asal daerah, format pengumuman DCS ini seperti lebih memberi kesan akan sosialisasi DCS dengan makna sebagai DCT. Pada hal dalam beberapa kesempatan KPU menyatakan akan menayangkan DCS lengkat dengan riwayat hidupnya. Tentu saja, bila maksud pengumuman DCS ini ditujukan untuk mengundang masyarakat memberi tanggapan atas terpenuhi atau tidaknya persaratan administrasi calon (pasal 30 ayat 2 PKPU No 7/2013) maka sudah semestinya pengumuman ini disertai dengan data riwayat hidup dan administrasi sang caleg. Bagaimana masyarakat tau bahwa data-data yang disampaikan sang caleg kepada KPU adalah misalnya palsu, berbohong, keanggotaan ganda,  dan sebagainya pada saat di mana data-data yang akan diverifikasi malah tidak tersedia. Boleh disebut format pengumuman DCS ini bahkan terkesan jauh dari ajakan untuk meneliti administrasi para caleg. Setidaknya, pengumuman dengan data administrasi lengkap itu tersedia di web setiap KPU.  Tetapi lebih dari itu, mestinya terbuka ruang bagi masyarakat untuk memberi masukan atas moralitas dan kapablitas para caleg. Sejatinya verifikasi administrasi palsu atau KTP palsu sudah harus kita rubah ke verifikasi moralitas palsu atau kapasitas palsu para caleg. Dengan begitu, pemilu kita tidak terjebak dengan sederet persoalan administrasi yang melupakan persoalan isi dan subtansi. [***]

Penulis adalah Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima)

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA