ITF Indonesia Kecam Mogok Nasional Perusahaan Bongkar Muat

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/'></a>
LAPORAN:
  • Selasa, 28 Mei 2013, 16:59 WIB
rmol news logo Rencana aksi mogok nasional di semua pelabuhan pada 3 Juni 2013 mendatang, menuai kecaman dari Federasi Buruh Transport Internasional. FBTI merasa keberatan karena otomatis mengurangi penghasilan buruh pelabuhan akibat penghentian operasional bongkar muat barang.  

Penegasan ini dikemukakan koodinator International Transport workers’ Federation (ITF) di Indonesia, Hanafi Rustandi, Selasa (28/5) di Jakarta.

Aksi mogok itu seperti diketahui sebagai bentuk protes terhadap kebijakan Kementerian Perhubungan dan PT Pelindo I-IV yang dinilai akan mengancam eksistensi PBM. Berdasarkan UU Pelayaran, Pelindo sebagai operator pelabuhan akan memungut fee dalam setiap kegiatan bongkar muat yang dilakukan PBM.
Besaran fee bervariasi karena ditetapkan masing-masing Pelindo.

Di Pelabuhan Tanjung Priok, PBM diwajibkan memberikan fee sekitar 40 persen dari ongkos bongkar muat. Sedang di Pelabuhan Belawan, Medan, dikenakan Rp2.500 per ton untuk barang umum.

Menurut Hanafi, meruncingnya konflik PBM dengan Pelindo harus diselesaikan secara kompromi, tanpa menghentikan kegiatan bongkar muat di pelabuhan. Kalau tidak tuntas juga, Kementerian Perhubungan harus segera turun tangan agar konflik itu tidak semakin meruncing. Hanafi mengecam ulah PBM yang melibatkan buruh pelabuhan untuk memperjuangkan kepentingan pengusaha.
"Buruh jangan dijadikan alat memperjuangkan tuntutan pengusaha," tegasnya.

Dia  menilai selama ini PBM banyak mendapat keuntungan dengan labour cost yang rendah, sehingga upah buruh pelabuhan sampai sekarang terendah di dunia. Karena itu, tidak masuk akal jika kebijakan Pelindo itu dianggap akan mengancam eksistensi atau memiskinkan PBM.

"Mungkin pendapatan perusahaan akan berkurang, tapi untuk soal ini mengapa mereka langsung teriak dan akan mengorbankan buruh pelabuhan," kata  Hanafi.

Menurut dia, upah buruh pelabuhan saat ini sekitar Rp 40 ribu per hari sedangkan dalam sebulan paling banyak mereka bekerja selama 15 hari. Upah buruh di pelabuhan konvensional yang ditangani Pelindo sekitar Rp 2 juta, sangat jauh dibanding dengan upah buruh di Jakarta International Container Terminal (JICT) atau di Terminal Petikemas Koja yang dioperasikan Hutchinson yang mencapai Rp 5 juta sebulan.

Rendahnya upah ini akibat tidak transparannya biaya bongkar muat yang diterima PBM, sementara upah buruh yang diberikan lewat Koperasi TKBM (Tenaga Kerja Bongkar Muat) sangat rendah. Mestinya, kata Hanafi, Koperasi TKBM dan Serikat Buruh Pelabuhan berupaya meningkatkan kesejahteraan buruh. Tapi mereka malah ikut terkontaminasi, sehingga upah buruh pelabuhan tetap memprihatinkan.

Untuk itu, Hanafi mendesak PBM, Koperasi TKBM, dan Serikat Buruh Pelabuhan segera melakukan keterbukaan, sehingga upah dan kesejahteraan buruh pelabuhan dapat ditingkatkan. Buruh menuntut adanya standarisasi upah di sektor bongkar muat.

"Idealnya upah di sektor transportasi, termasuk buruh pelabuhan, minimal Rp3,4 juta sebulan," paparnya.

Selain itu, Pelindo juga diminta meningkatkan kesejahteraan buruh pelabuhan agar mereka dapat memberikan jaminan keamanan di pelabuhan sesuai ketentuan internasional ISPS (International Ships and Port Security) Code. Dia mengingatkan, buruh murah merupakan pokok persoalan tidak terlaksananya ISPS Code selama ini. Lingkungan yang miskin membuat pelabuhan di Indonesia tidak aman karena seringnya terjadi pencurian di kapal.

"Masalah ini harus segera diatasi, karena sangat membahayakan keamanan pelabuhan maupun keselamatan pelayaran," kata Hanafi yang baru saja terpilih kembali menjadi Ketua ITF Asia Pasifik kedua kalinya.[wid]


Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA