"Ada setting yang salah di sini. Cukai itu bukan instrumen utama dalam penerimaan negara," ujar Latif kepada wartawan di Jakarta, Jumat (25/5).
Latif mengatakan, cukai seharusnya digunakan sebagai instrumen untuk mengontrol konsumsi suatu produk atau barang. Menurut dia pemerintah saat ini menggunakan pendekatan parsial dalam mengoleksi penerimaan negara. Padahal, lanjut ia, semakin ekspansif kenaikan cukai terhadap produk tertentu, dapat berimplikasi pada penurunan pendapatan dari sumber penerimaan negara lainnya seperti pajak.
"Kalau saya melihatnya sekarang ini parsial, begitu pemerintah tidak mampu memenuhi target pajak, maka kemudian instrumen cukai yang dimainkan. Ini istilahnya masuk kantong kiri keluar kantong kanan," katanya.
Sebagaimana diwartakan, belum lama ini pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 78/PMK.011/2013 tentang Penetapan Golongan dan Tarif Cukai Hasil Tembakau terhadap Pengusaha Pabrik Hasil Tembakau yang Memiliki Hubungan keterkaitan. Peraturan ini merevisi PMK 191/PMK.04/2010 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 200/PMK.04/2008 tentang Tata Cara Pemberian, Pembekuan, dan Pencabutan Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai Untuk Pengusaha Pabrik dan Importir Hasil Tembakau. Peraturan ini tujuan utamanya menaikkan cukai tembakau yang mengarah kepada "single tarif" antara perusahaan kecil dengan perusahaan besar pada tingkat tarif tertinggi.
Menurut Latif, pemerintah dalam hal ini Kemenkeu, secara sewenang-wenang menaikkan cukai rokok dengan berbagai alternatif kebijakan. Pemerintah mengabaikan mandat UU Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai. Pada Pasal 5 ayat 4 disebutkan bahwa kenaikan itu perlu memperhatikan kondisi industri dan aspirasi pelaku usaha industri dan harus mendapatkan persetujuan DPR. Namun pada prakteknya, menurut Latif, pemerintah seringkali memakai 'kaca mata kuda" dalam menggenjot penerimaan Negara.
"Pemerintah menggunakan pendekatan parsial dan perspektif kaca mata kuda," tegasnya.
[dem]
BERITA TERKAIT: