Anggota Komisi Perbankan DPR Achsanul Qosasi mengatakan, jika serius akan mengungkap SKL maka KPK harus memanggil untuk memintai keterangan para ketua dan deputi Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) periode 2002-2004.
"Merekalah otak SKL. Mereka mengusulkan dan melelang murah aset negara," kata Achsanul kepada
Rakyat Merdeka Online, Senin (15/4).
Politisi Partai Demokrat itu menyebut, pimpinan BPPN yang patut dimintai keterangan adalah Syafruddin A. Temenggung dan Deputi BPPN Eko Santoso Budianto serta deputi lainnya. Mereka yang berhubungan dengan para konglomerat dan mengajukan persetujuan SKL kepada Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KKSK) untuk para debitor antar lain Syamsul Nursalim, The Tje Min, Husodo A, dan Nin Khong.
Saat mereka menjabat, BPPN mengajukan permohonan kepada pemerintah agar diterbitkan SKL alias release and discharge dengan recovery 20 persen sementara sisanya dianggap lunas.
"Para pengemplang BLBI ditawari cara penyelesaian yang murah tapi merugikan Negara," imbuh dia.
Dana BLBI sebesar Rp 148 triliun dikucurkan untuk 48 bank. Saat itu, kata Achsanul, BPPN menjadi lembaga lelang, bukan lembaga penyehatan. Master of Setlement andi Aquisition Agreement (MSAA) dirancang sedemikian rupa kemudian diterbitkan SKL.
"Para pengemplang BLBI tidak mungkin mendapat SKL jika tidak ada tawaran dari pejabat BPPN. SKL terbit karena ada usulan sistem penyelesaian dari BPPN. DPR sangat mendukung langkah KPK guna memperjelas sejarah pesta lelang aset negara saat itu," demikian Achsanul.
[dem]
BERITA TERKAIT: