"Menkeu jangan merusak kesepakatan sebelumnya kalau tidak mau dibilang menghambat BPJS," cetus anggota Komisi IX DPR RI, Zuber Safawi dalam pernyataan tertulisnya, Selasa (26/2).
Sebelumnya, DPR bersama Kemenkeu dan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) hampir menyepakati besaran iuran bagi PBI Rp. 22.201 per orang per bulan. Namun, Kemenkeu dalam rapat bersama DPR, Senin (25/2) menawar jumlah itu menjadi Rp 15 ribu. Tidak hanya itu, Menkeu juga menyatakan dana awal bagi dua BPJS (Kesehatan dan Ketenagakerjaan) masing-masing Rp 500 miliar. Padahal, UU 24/2011 tentang BPJS menyebut dana awal bagi BPJS masing-masing Rp 2 triliun.
"Konsep PBI versi Menkeu tak jelas hitungannya, kita seperti sedang berdagang saja," imbuhnya.
Dalam hitungan DPR bersama Menkes dan DJSN, angka Rp 22.201 mencakup banyak faktor antara lain utilisasi, efek asuransi, pola penyakit, ketersediaan (suplai), kondisi geografis, inflasi rata-rata 7,5 persen per tahun, biaya out of pocket, dan sistem rujukan primer. Termasuk pula, biaya penyesuaian untuk memperhitungkan faktor resiko dan biaya manajemen, serta cadangan.
Zuber mengaku sulit memahami sikap Menkeu dengan menawar besar iuran jaminan kesehatan bagi orang miskin dan tidak mampu itu .
"Kami menyesalkan kondisi deadlock ini, seperti mengulang masa lalu ketika pembahasan UU BPJS bersama Menkeu juga," sesal Zuber.
Bila subsidi jaminan kesehatan bagi 96,4 juta warga miskin sebesar Rp. 22.201 diberlakukan, hanya menyerap Rp. 21,4 triliun dari APBN per tahun.
Karena itu, Zuber meminta Menkeu tidak mencari-cari alasan soal penganggaran BPJS yang sudah ditetapkan UU.
"BPJS sudah banyak PR-nya yang tertunda, jangan ditambah dengan mengulur-ulur penetapan tarif iuran PBI," tutupnya.
[wid]--
BERITA TERKAIT: