Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Polemik Heli AW 101, Presiden Jokowi Dituntut Turun Tangan

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/'></a>
LAPORAN:
  • Selasa, 15 Agustus 2017, 12:33 WIB
rmol news logo Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI kembali menetapkan satu tersangka berinisial Marsda SB dalam kasus Helikopter Agusta Westland AW 101. Padahal, SB baru sekali diperiksa sebagai saksi, penetapan SB pun tanpa surat pemanggilan. Hal ini jelas memacu kekecewaan banyak pihak.

Menanggapi hal ini, pengamat dari Universitas Tarumanegara, Urbanisasi mendesak Presiden Joko Widodo untuk segera turun tangan agar kasus ini tidak dipolitisasi dan dijadikan alat untuk mengkriminalisasi sejumlah jenderal di TNI Angkatan Udara.

"Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) baru ditunjuk pada bulan Juli 2017 dan baru memulai audit. Namun pihak Puspom TNI sudah menjustifikasi pembelian itu berindikasi korupsi dan sudah menetapkan tersangkanya, dasarnya apa," ujar Urbanisasi, di Jakarta, Selasa (15/8).

"Masalah ini tidak boleh jadi uji coba tanpa mengindahkan fakta hukum. Langkah yang dilakukan penyidik TNI sudah menyimpang jauh, harus kita cegah, karena jika tidak dicegah bisa menjatuhkan citra lembaga TNI," lanjutnya.

Sebagai kuasa hukum dari SB, Urbanisasi mengaku prihatin dengan cara-cara Puspom menetapkan kliennya sebagai tersangka. Mulai dari surat panggilan yang tidak ada, SB bahkan tidak tahu disangkakan karena kesalahan apa.

"Salahnya dimana, terus kasusnya apa kok tiba-tiba sudah dinyatakan tersangka, apalagi penetapan ini tidak dilakukan secara lazim dalam institusi kemiliteran, yakni berikan dulu surat pemeriksaan, lanjut surat pemberitahuan hingga penetapan, jadi harus pakai prosedur, tidak sesukanya sendiri," tandasnya.

Menurutnya, penetapan tersangka tanpa surat panggilan, sebagai kesewenangan dan menyalahi prosedur hukum acara. Urbanisasi menyebut, pihak Puspom telah terlalu jauh melangkah.

"Seharusnya, Puspom memberitahukan ada masalah seperti ini. Ada fakta-fakta seperti ini bagaimana menyelesaikannya. Bukannya tiba-tiba mengumumkan penetapatan tersangka ke media di Kuta, Bali," jelas Urbanisasi.

Kasus tersebut, kata Urbanisasi, juga sebenarnya bisa dibuktikan jika pihak TNI membentuk tim investigasi atau pencari fakta gabungan, disusul dengan peradilan koneksitas agar bisa memiliki kewenangan menyidik perkara korupsi atau perkara diluar hukum militer.

"Puspom menurut saya tidak memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan tindak pidana korupsi, karena kasus ini tidak ada perspektif pidananya. Tidak ada alat bukti yang mengarahkan itu sebagai tindak pidana," ujar Urbanisasi.

Maka dari itu, ia menuturkan, pihaknya akan menunggu rilis BPK merilis soal adanya unsur kerugian negara dalam kasus ini.

"Sebab, hingga kini BPK belum menyampaikan apapun terkait hasil audit, tapi tiba-tiba Puspom sudah memaksakan kasus itu, ini ada apa?" pungkasnya.

Dikonfirmasi terpisah, Juru bicara BPK Yudi Ramdan Budiman memastikan BPK belum pernah merilis audit yang menghitung kerugian negara dalam pembelian Helikopter AW 101.

"BPK saat ini masih mengaudit pengadaan alat utama sistem persenjataan di Kementrian Pertahanan, Mabes TNI, dan tiga angkatan, tapi tidak spesifik untuk Helikopter AW 101," ungkapnya.

Diberitakan sebelumnya, kasus dugaan korupsi pembelian satu Helikopter AgustaWestland AW 101 terus menggelinding di tangan Pusat Polisi Militer TNI yang menggandeng Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Pada 4 Agustus lalu, Komandan Pusat Polisi Militer TNI Mayor Jenderal Dodik Wijanarko menetapkan dua perwira sebagai tersangka baru kasus ini.

Bulan Mei sebelumnya, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo sudah lebih dulu mengumumkan tiga perwira lain sebagai tersangka.

Maka dari itulah, kini total ada lima perwira Angkatan Udara yang dijerat pasal korupsi oleh polisi militer dengan pangkat tertinggi M arsekal Muda atau jenderal bintang dua. [sam]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA